Hingga beberapa malam mimpi itu terulang lagi.
Saya lantas bilang ke anak lanang nomor dua,"Antar mama mencari tempat itu, Le."
"Tempat apa, Ma?" Anak lanang menatap saya heran.
"Candi Telih." Tahu-tahu bibir saya mengucap dua kata itu.
Sayangnya anak lanang tidak memiliki waktu senggang. Ia sibuk menjalani kerja lembur.
Untunglah sahabat saya, Te Rin bersedia menemani saya mencari tempat yang berkali-kali terlihat dalam mimpi saya itu.
Singkat cerita, bermodal petunjuk minim kami berangkat menuju Gunung Mujur, jalur yang harus dilalui untuk bisa sampai ke Candi Telih.
Setelah 2 jam berjalan kaki menyusuri hutan tanpa peta, kami tiba di suatu tempat yang membuat saya tertegun. Undakan bersaf-saf itu ada! Sama persis dengan yang muncul di dalam mimpi saya.
Karena penasaran, saya dan Te Rin gegas menapakinya.
Dan, begitu sampai di undakan paling atas, seorang laki-laki paruh baya keluar dari pondok (semacam cungkup) menyambut kedatangan kami. Lalu mempersilakan kami duduk di atas tikar.
"Saya sempat kaget melihat njenengan." Bapak tua itu berkata seraya menatap saya tak berkedip.