Surat ini kutulis untuk Ken. Lelaki berkalung senja.
Apa kabarmu, Ken? Apa kau masih berdiri tegak di antara reruntuhan seribu arca? Menjumputi sisa-sisa purnama yang meretak di lengkung langit Singasari. Menjaga ingatan tentang seorang perempuan berkemben sebatas dada, yang membuatmu tak bisa berhenti menderaskan larik-larik puisi bermajas cinta.
Ken...
Andai waktu bisa diputar ulang. Aku ingin lelaki pertama yang membawaku menjelajah hutan Panawijen adalah kau! Bukan Tunggul Ametung sang akuwu. Yang di dadanya takkunjung reda diricuhi napsu.
Lalu, ajari aku; bagaimana cara menaklukkan sekawanan harimau kumbang. Melukisi permukaan sungai-sungai yang kehilangan alir jernih dan bebatuan. Membuatkan sayap anak-anak kepodang yang ingin terbang menuju bulan. Juga, beritahu satu rahasia, dari apa cahaya kunang-kunang itu diciptakan.
Ken. Di sini hari baru saja bertemu semilir angin pagi. Apakah di sana juga? Jika iya, beranjaklah segera dari tempatmu melangut. Tinggalkan puing-puing kenangan yang dicumbui kabut. Buka lebar-lebar pintu dan jendela. Temukan surat ini di bawah kelopak sekuntum plumeria.
***
Malang, 23 Oktober 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H