Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Coulrophobia

8 Oktober 2021   16:54 Diperbarui: 9 Oktober 2021   04:06 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by istockphoto.com

Ini terjadi hampir setiap hari. Ketika langit mulai melukis rona jingga bergradasi ungu, ibu membawaku ke sebuah taman yang terletak tepat di tengah kota. Ibu mendudukkanku di sebuah bangku tua, sementara ia sendiri berdiri termangu menatap ke kejauhan.

Ya. Entah sampai kapan ibu akan selalu melakukannya. Menunggu makhluk itu muncul. Makhluk berpenampilan aneh dengan hidung bulat berwarna merah seperti tomat busuk, dan kedua mata yang dilukis menggunakan cat akrilik hitam legam.

Bukan hanya itu. Makhluk itu juga memiliki garis mulut melebihi batas normal manusia pada umumnya. Ditambah perut tambun seperti drum minyak tanah. 

"Ia badut yang sangat lucu, Alika. Kau harus berkenalan dengannya. Ayolah, ulurkan satu tanganmu!" Begitu ibu membujukku setiap kali makhluk aneh itu datang. Tapi bujukan ibu sama sekali tidak membuahkan hasil. Aku tetap bersikeras bahwa tidak ada makhluk paling mengerikan di dunia ini kecuali dia!

"Pergi! Pergi dari sini! Jangan coba-coba mendekatiku!" Aku berteriak-teriak histeris seraya menghindari tatapan makhluk yang kata ibu sangat lucu itu. Tanganku sibuk menggapai-gapai. Lalu melempar apa saja yang ada di dekatku.

Pernah, suatu waktu aku berhasil menimpuk kepala makhluk itu dengan sebongkah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa. Dug! Ia tampak kesakitan. Tangannya yang terbungkus kaus menyeka darah yang mengucur.

Tapi makhluk itu diam saja, sama sekali tidak mengaduh.

Jika sudah begitu biasanya ibu akan gegas memelukku. Berusaha menenangkan kemarahanku.

"Alika, kau tidak boleh bersikap kasar begini, Nak. Ayo, minta maaf kepada Tuan Badut!" Suara ibu terdengar gugup bercampur cemas.

"Tuan Badut?"

"Ya. Tuan Badut. Dia tidak jahat seperti yang kaukira, Nak."

"Tidak! Dengar, Bu. Jika sekarang aku hanya menimpuknya dengan batu, lain kali aku bisa melakukan lebih dari itu!" Ancamku bersungguh-sungguh.

Tangan ibu semakin erat memelukku.

"Baiklah, Alika. Ibu akan menyuruhnya pergi." Ibu akhirnya mengalah. Selanjutnya entah apa yang dikatakan ibu, tahu-tahu makhluk mengerikan itu berlalu meninggalkan taman. 

Sepintas, kulihat sorot mata ibu meredup. Digelayuti awan hitam.

***

Waktu terus bergerak, menggiringku menjadi wanita dewasa dan mandiri. Tapi soal kengerian terhadap sosok badut tidak juga mampu kuenyahkan. Tetap melekat di pikiranku. Membentuk semacam lingkaran pobhia.

Itulah mengapa aku selalu berusaha menghindar jika kebetulan melihat atau berpapasan dengan makhluk berpenampilan aneh itu. Meski kata ibu, di balik baju gombrongnya, mereka --- badut-badut penghibur itu adalah orang-orang berjiwa baik. 

"Keadaanlah yang membuat mereka terpaksa bersembunyi di balik topeng badut, Alika." Ibu menjelaskan dengan suara dan mimik penuh simpati.

Simpati? Ah, masa bodoh! Itu menjadi urusan pribadi ibu. Aku sama sekali tidak tertarik untuk mengusik atau sekadar mengetahui alasan mengapa ibu begitu menaruh perhatian pada dunia para badut.

Sampai suatu hari aku bertemu Daren, pemuda yang bekerja satu kantor denganku tapi berbeda ruangan. Daren mengaku jatuh cinta dan berniat untuk menikahiku.

Aku segera menyampaikan kabar baik ini kepada ibu. Tentu saja ibu menyambut gembira mengingat usiaku sudah tidak muda lagi. Sudah saatnya aku mengakhiri masa lajang yang nyaris kadaluarsa.

"Tapi sebelum menikah, maukah kau menemani ibu pergi ke taman kota itu lagi, Alika?" Ibu menatapku serius. 

"Ke taman kota? Untuk apa? Tunggu! Jangan katakan Ibu ingin bertemu dengan ..." aku menghentikan kalimatku sejenak. Menduga-duga apa yang ada di dalam pikiran ibu.

"Kau benar, Alika. Ibu ingin bertemu dengan Tuan Badut itu. Ibu ingin juga berbagi kabar baik ini dengannya."

***

Senja belum usai melukis rona jingga ketika kami tiba di taman kota. Ibu duduk di bangku taman yang sebagian catnya sudah terkelupas. 

Aku menjejerinya. 

"Semoga Tuan Badut itu sudah mati." Gumamku seraya meluruskan kaki.

"Kau tidak boleh berkata begitu, Alika. Tuan Badut itu sepantaran dengan ibu. Kaulihat kondisi ibu masih sehat, bukan? Kuharap ia juga masih sesehat ibu"

"Tapi, Bu. Seseorang dengan perut buncit biasanya lebih rentan mengalami gangguan kesehatan." Aku menanggapi kalimat ibu dengan suara hambar.

"Aku senang hatimu mulai melunak, Alika. Setidaknya bersikaplah baik terhadap Tuan Badut yang akan kita temui nanti." Ibu tersenyum lebar. Dan, senyum itu kian melebar ketika sosok aneh yang kami tunggu muncul.

"Apa kabar, Miska? Aku senang bisa melihatmu lagi di sini." Ibu berdiri, melambaikan tangan, memberi tanda agar sosok berpenampilan aneh itu mendekat.

"Kau sudah berhasil meyakinkan dia, Rin?" Sosok itu bersuara, gugup. Aku, begitu mendengar suaranya sontak berseru lantang, "Anda seorang perempuan!" 

Aku nyaris tidak mampu menguasai diriku sendiri.

"Ya, Alika. Miska memang seorang perempuan. Kukira sudah waktunya kau mengetahui perihal ini, Nak." Ibu menimpali seraya berusaha menggenggam tanganku.

"Lalu, rahasia apalagi yang masih ibu sembunyikan dariku?" Aku menepis tangan ibu dengan kasar. Mataku berubah nanar.

"Hanya satu rahasia kecil, Alika. Bahwa Miska --- ia adalah ibu kandungmu."


***
Malang, 8 Oktober 2021
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun