Istana kahyangan sedikit heboh. Pasalnya, Dewi Nawangwulan, bungsunya para bidadari sedang purik. Sepagian ini ia tidak beranjak dari tempat tidur. Pintu kamarnya pun dikunci rapat-rapat dari dalam.
Ibu Ratu jelas keheranan. Tumben gadis ragil itu tidak mendahului duduk di kursi makan, menyeruput secangkir seduhan madu hangat dan printilan bunga matahari kesukaannya.
"Apa dia sakit?" Ibu Ratu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, lalu mata tua itu beralih menatap satu persatu keenam bidadari muda yang duduk melingkar mengitari meja makan.
"Dinda Nawangwulan sepertinya sedang marah, Ibu." Bidadari sulung menjawab hati-hati, mewakili adik-adiknya.
"Loh, kenapa mesti marah?" Ibu Ratu meletakkan sendok dan garpu di tangannya. Kedua alisnya bertaut tegas.
"Karena kami tidak mengizinkan dia ikut mandi di ...." Bidadari sulung tidak berani melanjutkan kalimatnya. Kakinya yang berselonjor di bawah meja mendadak ada yang menendang.
"Oh, jadi kalian melakukannya lagi, ya? Turun ke bumi dan mandi di Sendang Tarub itu?" Ibu Ratu berdiri dari kursinya. Kedua tangannya mengepal di atas permukaan meja.
"Habiskan sarapan kalian! Setelah itu tidak ada satu pun yang boleh ke luar istana. Apalagi secara sembunyi-sembunyi. Kalian tahu tidak? Bumi sedang tidak aman!"
"Ya, Ibu Ratu. Kami tahu. Bumi sedang dilanda pageblug." Keenam bidadari muda itu menjawab serentak. Ibu Ratu duduk kembali ke kursinya seraya menghela napas panjang.
***
Sementara di dalam kamar yang pintunya masih terkunci rapat, Dewi Nawangwulan mengintip dari lubang kunci. Ia sempat mendengar larangan keras Ibunda Ratu terhadap keenam kakaknya. Hatinya bersorak girang. Baginya Ibu Ratu sudah bertindak sangat adil.