Sudah kubilang, jangan baca kisah ini! Kau tidak akan menemukan apa-apa --- kecuali, ya, kecuali ada terselip sedikit kisahmu di sini. Bersama seorang perempuan yang tengah berimajinasi menjadi pasangan hidupmu, menemani hari-hari indah bersamamu.
Hari-hari indah? Kau pasti menyesal karena tidak mengindahkan peringatanku. Jangan baca kisah ini! Sebab dalam imajinasi perempuan itu, kau adalah laki-laki yang malang. Kau telah jatuh cinta pada orang yang salah, yang mau menjadi istrimu, tapi ia tidak benar-benar tulus mencintaimu.
Sampai di sini apakah kau masih ingin membaca lanjutan kisahmu bersama perempuan itu? Kusarankan, sebaiknya jangan! Aku kasihan padamu. Lebih baik kau beranjak tidur. Menghabiskan malam dengan menguntai mimpi-mimpi di atas kasur. Agar esok pagi tubuhmu yang lelah setelah seharian lembur kerja, bugar kembali saat menyongsong geliat matahari.
Hai, kenapa juga diam-diam kau masih mengintip kisahmu ini bersama perempuan itu? Sudah kubilang, hentikan!
Tapi baiklah, jika kau memaksa, aku terpaksa membocorkan runtun kisah kalian yang sengaja dirawit oleh perempuan itu.
Kalian bertemu di suatu senja, saat rintik hujan berjatuhan di atas kepala perempuan itu. Sebagai lelaki gentle, tentu kau tidak sampai hati membiarkan perempuan itu tubuhnya habis ditelan hujan, bukan? Kau lantas melepas jaketmu, menutupi kepalanya dengan perasaan dan dada amat membuncah.
"Terima kasih. Tapi kau bukan orang pertama yang menyelamatkanku dari reruntuhan hujan. Ada banyak laki-laki yang datang. Dan, semuanya brengsek!" Perempuan itu menatapmu dengan pandang mata berkilat. Seperti sabetan pedang. Disertai bibir yang bergetar hebat.
Kau tersenyum. Sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan sinis perempuan itu. Kau malah gembira mendapati perempuan itu mau bercakap-cakap denganmu. Sebab, sudah lama kau tidak mendengar suara merdu seorang perempuan. Sejak ibumu memilih pergi meninggalkanmu ketika kau masih kecil.
"Ibu jangan pergi! Kalau Ibu tidak ada siapa yang akan menjagaku?" Protesmu kala itu.
"Tuhan yang akan menjagamu, Nak." Ibumu menyahut dengan napas tersengal, satu-satu. Lalu ibumu pamit tidur. Dan, sejak itu kau tidak pernah melihatnya terbangun lagi.
"Ambil jaketmu kembali! Aku tidak memerlukannya!" suara perempuan yang dikerubuti hujan itu membuat lamunan masa lalumu sontak mengudar.
"Jaket itu, mm, kuhadiahkan untukmu. Itu jaket satu-satunya milik mendiang ibuku."
Sampai di sini kau melihat tatap mata perempuan itu sedikit melunak. Dan, hatimu pun melonjak girang.
"Terima kasih. Tapi sekali lagi --- kau bukan satu-satunya lelaki yang pernah memberiku perhatian." Perempuan itu melempar tatapannya, tapi kali ini tidak menujumu, melainkan ke ujung langit yang bergradasi abu-abu.
Itulah awal kau bertemu dengan perempuan itu. Kau tidak memungkiri jikalau hatimu telah jatuh cinta kepadanya.
"Maukah kau menikah denganku?" Pintamu bersungguh-sungguh. Perempuan itu tidak menyahut. Tapi kepalanya yang nyaris habis dimakan hujan mengangguk pelan.
Tunggu! Yakin masih ingin membaca kelanjutan kisahmu yang bisa saja berakhir tidak sesuai dengan harapanmu?
Baiklah.
Singkat cerita, kalian menikah, saat itu juga. Di bawah reruntuhan hujan. Disaksikan temaram senja yang tersenyum diam-diam.
Kau boleh berhenti sampai di paragraf ini jika merasa inilah bagian paling romantis dalam kehidupanmu.
Apa?! Kau tidak ingin berhenti sampai di sini? Baiklah. Silakan lanjut membaca kisahmu sendiri. Tapi sesudahnya jangan salahkan aku jika kelak kau menyesal karena sudah tidak ambil peduli pada peringatanku.
Sejak dipersunting olehmu, perempuan itu mencatat banyak hal tentangmu, tentang kebiasaanmu yang romantis; kau bangun pagi-pagi sekali, lebih awal darinya, lalu menyeduhkan kopi tanpa gula, membuka daun jendela kamar lebar-lebar, dan setelah itu kau membangunkannya dengan menyapu pelupuk matanya menggunakan bibirmu yang hangat.
Perempuan itu juga merekam raut wajahmu yang selalu tersenyum di dalam memori kepalanya lalu menguncinya rapat dengan dua kata; good man!
Lelaki baik akan berjodoh dengan perempuan baik, demikian sebaliknya. Tapi pada kenyataannya, jauh panggang dari api. Banyak lelaki baik atau perempuan baik mendapat pasangan yang tidak semestinya. Meski, tentu saja tidak semuanya begitu.
Seperti perkecualian yang terjadi pada dirimu. Yang ditulis oleh perempuan bermata hujan itu.
Ia --- perempuan itu telah menemukan lelaki baik. Setelah bertahun-tahun hatinya terpenjara dan sulit memaafkan. Seharusnya ia bersyukur. Hujan telah melunasi janjinya, bahwa kelak di suatu senja perempuan itu akan bertemu dengan lelaki sesuai dengan impian dan harapannya.
Tapi sayang sekali. Perempuan itu telah kehilangan perasaan. Ia lebih memilih bersikap skeptis, mudah curiga dan tidak percaya kepada siapa pun.
Dan, suatu pagi perempuan itu ingin mengakhiri semuanya. Ia tidak ingin diperlakukan bak seorang ratu olehmu. Ia ingin bebas dari belenggu kebaikan-kebaikanmu.
Maka dalam tulisannya di bagian akhir, ia mengisahkan, ia sengaja bangun lebih pagi darimu beberapa menit, jalan berjinjit menuju dapur.
Di dapur ia gegas menjerang air, menyeduh kopi tanpa gula. Setelahnya ia kembali ke kamar tidur, membuka daun jendela lebar-lebar, dan berjalan perlahan menujumu.
Ia tampak sangat berhati-hati ketika mencium lembut permukaan keningmu --- satu hal yang baru pertama kali dilakukannya seumur hidup.
"Bangunlah. Sudah kusiapkan secangkir kopi tanpa gula, untukmu." Ia berbisik lirih. Napasnya yang hangat tertangkap oleh pori-pori di sekujur tubuhmu. Membuatmu membuka mata dengan gugup.
Jika kau merasa ini adalah bagian paling luar biasa dalam kisahmu yang ditulis oleh perempuan itu, kau boleh skip di sini. Tapi jika kau penasaran ingin mengetahui ending yang sudah direncanakan oleh perempuan itu, ah, entahlah. Aku tak berani merekomendasikannya.
Aku hanya bisa mengingatkan. Hati-hati dengan kopi tanpa gula yang sudah diseduh oleh perempuan itu. Ia bisa saja ingin mencelakaimu, bukan? Atau --- sebaliknya. Ia sesungguhnya sudah jatuh cinta kepadamu dan beritikad; mulai pagi itu ia akan menjadi a good woman.
***
Malang, 23 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H