Untuk apa kaubiarkan bekas bibirnya tak terhapus dari tepi cangkir kopi pahitmu? Jika ada hal-hal lain yang bisa kaulakukan dari sekadar mematut diri di sepanjang tubir bernama kenangan.
Datang dan berkunjung ke kotaku, misalnya. Kota dingin yang dikitari ribuan anak gunung. Kota surga yang ditumbuhi aneka ragam bunga. Kau bisa memetiknya barang satu dua kuntum. Untuk kausematkan di atas cuping telinga matahari. Tentu. Ada aku yang siap menemani.
Untuk apa kaubiarkan bekas bibirnya menguasai ruang kosong di sudut hati dan pikiranmu? Jika ada hal-hal menyenangkan yang bisa kaulakukan dari sekarang.
Melukis wajah senja, umpamanya. Sungguh, jika kau tak keberatan, biar kugenggam erat jemari dingin tanganmu. Kita toreh bersama sketsa dan gradasi warna pada lengkung langit biru. Hingga sampai batas akhir. Hingga senja kelelahan dan mentari pun menjura pamit lingsir.
Untuk apa kaubiarkan bekas bibirnya abadi seolah tak tersentuh oleh waktu? Jika ada seseorang di sini menunggumu dengan bibir ranum tanpa gincu. Yang siap menjatuhkan kecup hangat di kedua pelupuk matamu; sebanyak yang kauingin, sepuas yang kaumau.
***
Malang, 21 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra