Sungguh, aku seperti seekor kerbau yang dicokok ujung hidungnya.
"Lewat sini!" Suara Pakde Diran membuatku tertegun. Melalui cahaya rembulan yang mengintip samar-samar dari balik rerimbun pepohonan mataku menyapu sekeliling.
Hah, kami berada di pemakaman tua?
Kakiku sontak gemetar. Tapi Pakde Diran menggamit tanganku agar aku gegas mengikutinya.
"Bersimpuh!"
Tepat di depan kijing berukuran besar Pakde Diran tegas memberi perintah. Lagi-lagi, dengan kaki masih gemetar aku menurut.
Seraya bersedeku lutut aku memberanikan diri melirik sekilas pada makam yang membujur di hadapanku. Makam berukuran besar yang pada lempeng batu nisannya tertera sebuah nama. D.A. Chavid.
D.A. Chavid? Siapa dia? Mengapa Pakde Diran terlihat sangat mengagungkan makam ini dengan menyuruhku bersimpuh?
Begitu banyak pertanyaan bersliweran di benakku. Tapi tak satu pun yang mampu kujawab.
Perhatianku ternyata lebih teralih pada perilaku aneh Pakde Diran. Lelaki berpakaian serba hitam dan berudeng kain wulung itu sibuk menabur bunga-bunga di atas makam D.A. Chavid.
Ia juga membakar segenggam kemenyan yang dikeluarkan dari saku bajunya. Bunyi gemeretak disertai bau menyengat membuat bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri.