Pagi ini, sepertinya tak ada lagi sesuatu yang menarik untuk kita perbincangkan. Dunia telah dikuasai awan kelabu, juga pilu akibat begitu banyak rasa kehilangan.Â
Kita lantas sepakat memilih diam seribu bahasa. Bukan karena kehabisan kata-kata. Tapi lebih memberi kesempatan kepada nurani untuk merenung barang sejenak. Sudahkah selama ini kita telah berperilaku bijak?
Bijak terhadap alam semesta yang telah memberi hidup dan arti kehidupan. Atau sebaliknya, kita terlanjur bangga menjadi makhluk ciptaanNya yang menghambur dan mengumbar rasa jumawa.
Ini masih tentang pandemi yang tak kunjung berakhir, kawan. Yang membuat kita berseteru dengan waktu, memusuhi udara yang kita hidu, menghindari pelukan seorang ibu yang hangat, menjauhkan perasaan cinta yang amat sangat. Juga meredam gejolak rindu yang menggebu begitu hebat.
Apakah Tuhan sedang murka? Atau sesungguhnya kita yang terlambat memahami tentang apa-apa yang telah tertera dalam tanda-tanda kekuasaanNya.
Entahlah. Barangkali sudah saatnya kita mengarahkan kelima ujung jari, pada dada sendiri.
Setelahnya, jangan berpaling wajah dan berpatah arang. Mari tiada putus merangkai doa dan pengharapan. Hanya kepadaNya. Bukan kepada yang lain.Â
Yakin dan percaya bahwa tiada doa yang terpanjat sia-sia. Doa yang terucap dari bibir dan hati yang berserah tanpa jarak, tanpa jeda.
***
Malang, 15 Juli 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H