Seperti biasa, sekalipun kau tak ada, puisi tetap menjalankan aktivitasnya. Ia rajin mengabsen bulir-bulir embun yang berbaris rapi di punggung daun-daun. Tangkas menuang secangkir kopi untuk para pengelana yang singgah melepas lelah. Juga lihai menjumputi gulma di sepanjang pematang kebun cinta.
Di pintu puisi aku masih kerap berdiri. Meski aku tahu ia tak butuh seorang teman. Tapi aku selalu ingin bertandang ke rumahnya --- rumah yang sangat luas, yang halamannya dipagari pepohonan cemara tinggi, dan terasnya dialiri arus sungai sebatas mata kaki.
Puisi. Ia adalah tuan rumah yang melahirkan paradoks-paradoks keniscayaan. Yang tak menolak meski aku datang dengan beragam kekusutan. Yang tak segan mengajakku bercanda dengan aksara dan kata-kata piaraannya.
Seperti biasa. Pagi Ini aku kembali berdiri. Di depan pintu puisi. Dengan hati lelah. Dengan mata basah.
"Maaf, aku melintasi sungaimu tidak lagi dengan kakiku," ujarku malu-malu. Puisi pun mahfum. Direngkuhnya pundakku. Dituangkannya secangkir teh hangat beraroma Bunga Sepatu.
"Ah, kamu hanya sedang dikuasai rindu," puisi lirih menimpali. Seraya mengunciku ke dalam lemari besi.
***
Malang, 16 Februari 2021
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI