Panut sudah sampai pada satu keputusan. Menjadi buzzer.
Mengandalkan pendapatan dari berdagang batik keliling? Panut sudah lelah. Imbauan pemerintah agar seluruh lapisan masyarakat sebisa mungkin menjalankan protokol kesehatan, salah satunya dengan berdiam diri di rumah, tentu wajib dipatuhi. Jikalau pun secara sembunyi-sembunyi Panut nekat keluyuran menjajakan dagangannya, dipastikan ia pulang dengan tangan kosong.
Pandemi memang berhasil memorakporandakan tatanan kehidupan masyarakat. Nyaris semua kalangan merasakan imbasnya. Panut tersenyum kecut. Ia tidak ingin mati memalukan hanya gara-gara kelaparan. Ia harus tetap bertahan hidup. Dan, untuk bertahan hidup itu dirinya mesti pandai-pandai menyiasati keadaan.
Ya. Menjadi buzzer adalah pilihan yang sangat tepat. Sebab selain bayaran yang ditawarkan sangat menggiurkan, pekerjaan ini tergolong ringan. Tidak membutuhkan tenaga ekstra. Cukup mengolah dan mengunggah sederet kalimat sesuai pesanan --- bukan sesuai perasaan, otomatis rekening tabungannya akan terisi.
Ah, masa bodoh!
Panut bukan satu-satunya orang yang memilih jalan pintas ini. Jauh-jauh tahun, Hiwal, teman sejawatnya, sudah terlebih dulu menggeluti bidang yang bagi sebagian orang berat tanggungjawabnya kelak di akhirat.
Akhirat? Hiwal tertawa saat disinggung masalah ini oleh Panut. Ia tidak berpikir sedemikian jauh. Baginya lebih penting menyelesaikan masalah yang terpampang nyata di depan mata. Hiwal mengaku sudah khatam merasakan perut ngelih, menunggak uang kontrakan berbulan-bulan, atau mendapat teguran dari pemilik warteg karena kasbon yang menumpuk.
Panut semakin terkagum-kagum pada prestasi yang diraih Hiwal. Dari sosok lelaki miskin menjelma menjadi seorang buzzer terkenal itu sungguh sangat menakjubkan!
Tuntutan hidup yang nyaris sama dengan apa yang pernah dialami Hiwal, membuat Panut mengenyampingkan segala nasihat mendiamg kedua orangtuanya.Â
"Rezeki tidak akan tertukar, Nut," ujar Ayahnya suatu hari ketika Panut terlihat lebih sering duduk melamun. Ya. Rezeki memang tidak akan tertukar. Tapi jika tidak dijemput mana mau rezeki mendekat sendiri? Panut menyela dalam hati.
"Kowe kudu sumeleh, Le. Rezeki wis ono sing ngatur. (Kamu harus sabar, Nak. Rezeki sudah ada yang mengatur)." Itu nasihat klise Ibunya. Tapi sang Ibu mana paham mengenai isi kepala Panut?