Jadi itukah wejangan terakhirmu untukku?
Apa yang bisa kukenang darimu, duhai lelaki yang kerap bertandang di beranda ruang pikiranku? Kecuali nasihat yang kauuntai merupa kalimat sepenuh kasih bak seorang Ayah kepada putrinya. Nasihat yang sarat dengan gurat-gurat amanat. Nasihat yang asal engkau tahu, telah menjadikanku semakin kuat.
Apa yang bisa kuingat dari sosok ringkihmu yang tak lelah berselempang secarik kenangan? Kita pernah jumpa sekali waktu. Tapi itu cukup, membuat kita saling bertukar senyum, berkali-kali.
Tentu. Ada batas yang tidak bisa kita libas. Ada kagum yang tidak mampu kita rangkum. Memelukmu, jelas tidak mungkin. Meski aku ingin! Bahkan ketika kau mengeluhkan kakimu terasa lebih tua dari usiamu, aku hanya bisa menatap dari jauh seraya tak putus mendoakan, "Cepat sehat, nggih, Pak Tua. Bilang pada kaki Bapak jangan keseringan mengajak begadang."
Lalu, hujan pagi di awal Januari meluruh jatuh. Membasahi kelopak mawar di taman sepi. Tidak, aku tidak sedang menangis. Ini hanya soal waktu, Pak Tua. Aku tahu Tuhan telah memberimu tempat paling indah di atas sana.Â
Senja ini aku hanya ingin menegaskan, "Masih kau sisakan satu nasihat untukku, bukan?"
Selamat jalan Pak Tua. Berakhirlah kelana baktimu di pangkuan Illahi Robbi dengan damai.
Al Fatihah.
***
Malang, 02 Januari 2021
Lilik Fatimah Azzahra (merasa kehilangan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H