Hari ini aku akan sibuk sekali. Mencari kekasih yang telah hilang. Ke seluruh penjuru mata angin.
Di ufuk Timur ketika matahari baru saja terbangun dari peraduan, berlari aku. Membawa segenggan bunga sepatu. Berharap kekasihku ada. Di antara rerimbun daun cemara.Â
Tapi sia-sia. Tak kudapati jejak kekasih di sana. Yang kulihat hanya bayanganku. Sendiri. Tertunduk lesu. Tertimbun sepi.
Mungkin. Di beranda mata angin Selatan, kekasih yang kucari bisa kutemukan. Berlari lagi aku. Tanpa ragu. Tanpa alas kaki. Juga, tanpa segenggam bunga sepatu bertabur rindu.
"Ini memasuki musim penghujan. Tak ada satu pun kekasih yang dititipkan awan." Angin Selatan memberi penegasan. Membuatku diam. Terpaku. Ditelan keheningan.
Bagaimana jika aku pergi saja ke arah Barat? Di mana senja dan langit kerap akrab bercakap-cakap. Barangkali dari mereka bisa kucari tahu. Perihal kekasih yang hingga kini tak kunjung kutemu.
Tapi senja baru saja mati. Dan, langit yang patah hati memilih berharakiri.
Ke arah Utara kaki ini memutuskan untuk mengakhiri langkah. Dipandu purnama yang baru saja usai bertiwikrama. Diiringi nyanyi serak Burung Gagak. Bersikukuh aku, mencari kekasih yang raib tanpa jejak.
"Sudahilah. Tak akan pernah kautemukan. Sebab kekasih yang kauimpikan---ia masih belum dilahirkan."
Tertulis kalimat demikian. Di atas dinding rapuh batu nisan.
***
Malang, 02 Desember 2020
Lilik Fatimah Azzahra