Hari ini, biar kugenggam erat jemari tanganmu ya, Nduk. Biar kurasakan kembali getar-getar masa lalu itu di setiap pori-pori halus kulitmu.
Ah, sudah sebesar ini kamu kiranya. Sudah 20 tahun.
Serasa baru kemarin aku menuntunmu, mengantarmu hingga pintu gerbang sekolah, mendengarkan celoteh riangmu tentang rencana membeli buku-buku bekas yang dijual Pak Tua di depan pintu pagar. Nanti, siang, sepulang kau dari tugas belajar.
Nduk. Maafkan ibumu ini, yang kala itu tak mampu membelikanmu buku-buku baru. Hingga membuatmu mesti berjuang. Menyisihkan uang saku yang tak seberapa, demi melepas dahaga akan membaca.
Nduk. Hanya sedikit yang bisa ibumu ini berikan, kepadamu. Tapi percayalah, yang sedikit itu telah kuserahkan semua. Tuntas. Tiada bersisa.
Dan, kelak kuharap kamu tidak pernah kecewa, atau menyesal, memiliki ibu seperti aku,. Perempuan yang hanya bisa menghadiahi pelukan, ketika kamu berlari-lari kecil sembari berseru lantang, "Mama! Ulangan matematika hari ini aku dapat nilai 100 lagi!"
Ada banyak cerita tentangmu, Nduk. Yang telah aku simpan di dalam satu wadah bernama kenangan. Cerita-cerita itu, sungguh, amat beragam dan menakjubkan!
Seperti warna pelangi usai hujan reda. Cerita-cerita itu menghiasi tepian senja, sudut mata, juga---hati yang belum berhenti dikelabuhi jelaga.
Tahukah kamu, Nduk? Ragam cerita tentangmu itulah yang membuat langkah ibumu ini tak kunjung surut, doa dan air mata tak hendak lelah saling berpagut. Bersama rasa syukur yang mengalir dari hilir, menuju muara tempat segala harap dan asa tunduk berakhir.
Apalah arti ujian dibandingkan dengan karuniaMu yang tiada terbilang, Tuhan?
Dan, hari ini---biarlah kugenggam erat jemari tanganmu, Nduk. Biar kurasakan kehangatan itu merasuk sukma. Sekali lagi.