"Mandi kembang tengah malam?" Saya mengernyit alis.Â
"Iya! Itu salah satu cara untuk membadarkan teluh yang selalu dicoba dikirim kepadamu."Â Pak tua itu menatap saya tak berkedip. Kemudian ia berseru lantang memanggil istrinya.
"Bu! Kita masih punya merang ketan hitam, bukan? Lekas bawa ke sini! Berikan pada si Nduk ayu ini."
Terdengar langkah kaki diseret dari ruang dalam. Seorang perempuan setengah umur mendekat dan menyerahkan sesuatu kepada saya.Â
"Bakar merang ketan hitam ini, ya, Nduk. Campurkan abunya ke dalam air mandimu bersama kembang setaman. Lalu minta Ibumu memandikanmu tepat pada weton kelahiranmu." Perempuan itu berbisik pelan di telinga saya.Â
***
Saya tiba di rumah dalam keadaan lelah. Sangat lelah. Betapa teror aneh itu terus saja, tanpa henti mengganggu ketenangan hidup saya.Â
Kapan semua ini akan berakhir?
Sungguh, saya bukan mengkhawatirkan diri sendiri. Melainkan anak-anak. Bagaimana perkembangan mental mereka jika keadaan seperti ini terus berlanjut?
Mereka selalu dilanda ketakutan setiap hari mulai gelap. Bagaimana tidak, kerap---secara tiba-tiba ketika baru terlelap tidur, terdengar suara gemerutuk seperti hujan pasir mengguyur atap rumah. Anak-anakpun terjaga, saling merapatkan tubuh dengan wajah takut dan cemas.Â
"Suara apa itu, Ma?"