"Hom pim pah! Aku menang! Kamu kalah! Itu berarti kamu yang harus mati! Tusuk lehermu sendiri!"
"Bicara apa kamu, Gus!" Ibu berteriak lantang dari dalam kamar.
"Lagi main sama teman baru, Bu!"
Ibu tidak bertanya lagi. Akupun melanjutkan kegiatan bermainku.
"Hom pim pah! Aku menang lagi! Ya, sekarang kamu yang harus mati! Tusuk perutmu sampai ususnya memburai!"
Lalu darah kental berceceran di lantai. Kuoleskan darah yang masih segar itu ke seluruh tubuh dan wajahku.
"Astaga, Agus! Apa yang sudah kamu lakukan?!" Ibu berteriak marah sembari meraih botol kecap yang isinya sudah habis kutumpahkan. Lalu dengan kasar Ibu menggelandangku masuk ke dalam kamar mandi.
"Ayooo, mandi sana sampai bersih!"
Blam!
Ibu mengunci pintu kamar mandi dari luar. Dan itu, membuatku terkikik sendirian.
***
Dokter menvonisku mengidap skizofrenia. Sementara orang-orang sekitar menyebutku "anak gila" karena suka bicara dan tertawa-tawa sendiri.
Tentu saja sebutan "anak gila" membuat Ibu malu. Sangat malu. Itulah sebab Ibu lebih suka mengurungku di dalam rumah.
Sebenarnya aku sudah sering mengatakan hal ini kepada Ibu; bahwa aku tidak gila seperti yang dituduhkan oleh orang-orang sialan itu.Â
Ya, aku tidak gila. Aku hanya bisa melihat mahluk dari alam lain.
Mereka---mahluk-mahluk dari alam lain itulah yang suka mengajakku bicara, bermain, dan tertawa-tawa sepanjang hari.
Seharusnya Ibu bangga mempunyai anak sepertiku. Seperti bangganya ia terhadap bayi mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi perempuan berparas cantik, yang dipaksakan harus kupanggil adik.
"Dia itu adikmu, Gus. Kamu harus ikut menjaganya. Kamu harus memprioritaskan dia. Ingat itu!"
***
"Hom pim pah! Waaah, sekarang aku kalah! Berarti aku yang harus mati!" Aku berseru kegirangan.
Lalu aku segera mencari-cari benda di sekelilingku, benda yang sekiranya bisa kupakai menuju mati.
Mataku nanar menyapu seluruh ruangan dan berhenti di dapur.
Ah, kiranya Ibu sudah menyembunyikan pisau-pisau dan benda tajam lainnya entah di mana. Juga botol kecap kemarin, yang kalau dipecahkan ujung-ujungnya bisa menusuk leherku dengan mudah.
"Sedang apa kamu, Gus?" Suara lantang Ibu mengagetkanku.
"Aku kalah hom pim pah dari teman-temanku, Bu. Itu artinya aku yang harus mati."
Ibu tidak bertanya apa-apa lagi. Sepertinya Ibu sudah mulai memahami keadaanku.
"Apakah Ibu bisa meminjamiku alat untuk berangkat menuju mati?" Aku bertanya bersungguh-sungguh. Ibu mengangguk.
"Nanti akan Ibu pinjami. Ibu punya tusuk konde di laci meja rias. Tapi sebelum itu, tolong jaga sebentar adikmu, ya. Ibu mau mandi."
"Baik, Bu!" Sahutku riang. Aku senang, akhirnya Ibu sadar bahwa anaknya ini tidak gila seperti yang dituduhkan oleh orang-orang.
Blam!
Ibu membanting pintu kamar mandi keras-keras. Sementara, sesuai janji aku menjaga adik bayi yang tertidur pulas di atas tempat tidur.
"Kamu curang! Harusnya kamu sudah mati, Gus! Mati! Mati!" Suara-suara itu tiba-tiba bersliweran di telingaku.
"Tunggu! Aku harus menjaga adikku dulu sampai Ibu selesai mandi!"
Tapi suara-suara itu terus saja terdengar riuh. Membuatku pusing dan panik.
Karena Ibu tak juga kunjung keluar dari kamar mandi, dan suara-suara itu terus saja berseru mengejarku, akhirnya kuputuskan untuk segera menyelesaikan semuanya.
Kubuka perlahan laci meja rias milik Ibu.Â
Ada! Tusuk konde terbuat dari besi kuningan itu kutemukan.
Sekarang tinggal memikirkan bagian tubuh mana yang harus kutusuk. Bola mata, perut, atau leher?
Tunggu dulu! Tusuk konde Ibu ternyata ada dua. Dua-duanya sayang kan, kalau tidak digunakan?
Baiklah. Aku sudah tahu untuk siapa satu tusuk konde itu.Â
Yup! Untuk adik bayiku yang lucu.
Karena aku sayang adik, maka adik harus kuprioritaskan. Aku mencontoh sikap Ibu. Ibu selalu mendahulukan apa-apa untuk adik. Sedang untukku, Ibu menomorduakan.
Aku lantas mendekati adik tersayangku. Kupegang lehernya yang lembut pelan-pelan. Lalu, crash! Crash! Berulang tusuk konde itu kuhunjamkan di sana.
Aneh. Adikku diam saja. Ia tidak menangis. Sungguh seorang adik bayi yang sangat pintar!
Selanjutnya aku harus menusuk leherku sendiri sebelum suara-suara gaduh dari alam lain itu kembali terdengar.
Darah segar muncrat di mana-mana. Di lantai, di atas sprei, di dinding kamar, juga di sekujur tubuhku yang kurus.
Ah, Ibu. Mengapa ia tidak berteriak lantang memarahiku seperti biasanya? Mengapa pintu kamar mandi tak kunjung terbuka dan air dari kran terus mengalir?
***
Esoknya.Â
Surat kabar dan media online di seantero kota ramai-ramai memberitakan.
Diduga tewas bunuh diri, ibu dan anak pengidap skizofrenia. Anehnya, sebuah boneka "voodoo" ditemukan tergeletak di atas tempat tidur dengan kondisi tertancap tusuk konde tepat pada bagian leher.
***
Malang, 06 Oktober 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H