Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. (Pramoedya Ananta Toer)
Ya. Aku menulis karena aku ingin engkau terus menyayangiku. Tidak memalingkan wajah barang sedetik pun dari diriku. Sembari memberiku kebebasan untuk terus berkreasi, mengekspresikan hening, juga riuh yang berlalu lalang di alam bernama pikiran.
Selain itu---seperti katamu, menulis menjadikanku tetap sehat, cantik, bersemangat, bugar, serta awet muda.
Menulislah! Serumu lagi, suatu hari. Ketika tiba-tiba jiwaku dikerubungi oleh sunyi.
Aku menggapai.
Suaramu terus saja terdengar laksana ayun pedang tentara barbar. Kadang berdenting nyaring, kadang pelan, kadang hanya melintas samar-samar.
Sudah berapa banyak perempuan yang kautulis? Tanyamu dengan senyum paling menghipnotis.Â
Tiga, empat, sepuluh, dua puluh, seratus?
Seribu!Â
Ya! Seribu wajah perempuan telah berhasil kuhidupkan. Di bawah pendar cahaya bulan yang hampir purna. Di balik gemuruh hati yang berusaha bangkit dari mati surinya cinta.
Selamat! Seribu Wajah Perempuan-mu telah lahir. Mari kita sambut dengan bubur merah buatan Ibu, yang ditlaning-tlaning di atas takir daun waru.
***
Malang, 24 September 2020
Lilik Fatimah Azzahra
NB: Berminat memiliki buku kumcer di atas? Sila hubungi penulisnya yaa. Via FB atau kontak nomor WA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H