Camar itu aku. Terbang di atas permukaan samudera yang masih saja suka menawarkan janji tak kunjung purna; tentang wajah samar seseorang, tentang kedatangan yang berubah makna menjadi kepergian.
Sepasang ikan pari berenang beriringan. Saling berpegangan tangan. Itu jelas bukan reinkarnasi kita! Sebab, terakhir kali kita bertemu, aku menjauhkan jemari tanganku dari remasanmu (yang memabukkan).Â
Aku hanya tidak ingin waktu terlalu banyak meninggalkan kenangan. Karena---lagi-lagi, kenangan, seindah apa pun wujudnya kelak ia bisa menjelma menjadi pisau tajam bermata dua.
Camar itu aku. Masih belum ingin berhenti melintas di atas permukaan samudera raya.
Jikalau pun sayap-sayapku lelah, aku bisa memanggil angin. Agar mengangkat tubuhku setinggi mungkin. Atau membisiki matahari. Untuk membawaku terbang menuju ke istananya yang dikelilingi api.
Benar. Camar yang sendiri itu; aku. Menunggu samudera. Mengajariku bagaimana cara terbaik menerjemahkan cinta.
***
Malang, 28 Agustus 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H