Aku merindukan rumah kita yang dulu. Yang kaubangun di tengah rerimbun hutan bambu. Yang pondasinya terbuat dari setumpukan reranting rindu.
Rumah kita itu, memiliki jendela yang daunnya terbelah menjadi dua. Kadang, kita berdiri berdampingan di semasing sisi-sisinya. Aku menatap indahnya bunga-bunga yang bermekaran di taman. Dan kamu, riang berbincang dengan matahari yang baru saja terbangun dari mimpi-mimpi.
Rumah kita, sederhana namun asri. Hanya memiliki satu kamar tidur utama. Yang dindingnya kaupenuhi dengan goresan puisi-puisi cinta. Katamu, puisi-puisi itu sebagai penawar. Manakala hatiku dikuasai rasa cemburu yang membelukar.
Rumah kita juga memiliki dapur mungil yang begitu manis. Yang kaurancang dengan nuansa lembut nan romantis. Kadang, kaumemintaku menyeduhkan kopi dengan hanya mengenakan gaun transparan. Dan, sesaat sebelum kopi kusuguhkan, kaupeluk pinggangku---mesra, dari belakang.
Sungguh. Aku merindukan rumah kita yang sederhana itu. Bukan rumah mewah seperti yang kita tempati sekarang. Yang kamarnya begitu luas tiada terbilang. Namun menciptakan rasa sunyi. Karena kamu, sudah jarang pulang.
***
Malang, 19 July 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H