"Tentu!" Lazuardi berseru lantang.Â
"Baiklah. Kalau nanti mataku bisa sembuh, orang yang pertama kali ingin kulihat adalah kamu," saya menengadahkan wajah, sedikit tersipu.Â
Saya tahu Lazuardi saat itu sedang memperhatikan saya dan bibirnya tersenyum mendengar kata-kata saya.
"Aku pamit dulu, ya! Bus sudah datang menjemputku. Sampai jumpa!" Lazuardi buru-buru menyentuh punggung tangan saya lagi. Lalu pergi.
Hari-hari selanjutnya saya mulai menyadari. Bahwa saya begitu mengagumi Lazuardi. Saking kagumnya, saya kadang berpikir Lazuardi itu sebenarnya adalah malaikat yang sengaja diutus oleh Tuhan untuk menemui saya. Mengubah hari-hari saya yang gelap menjadi indah dan penuh warna.
***
Suatu pagi di pertengahan bulan Juni.Â
Udara dingin berebut jatuh menggigiti lengan dan punggung tangan saya. Tapi saya tidak peduli. Hati saya sedang berbunga-bunga. Saya sedang menunggu kedatangan Lazuardi.Â
Ya. Lazuardi. Ia akhirnya berhasil menyelesaikan kuliahnya. Ia sudah pula diterima bekerja di sebuah Rumah Sakit. Dan sesuai dengan apa yang pernah dijanjikannya, hari ini ia akan membawa saya untuk memeriksakan kedua mata yang mengalami gangguan penglihatan sejak kecil.
Saya baru saja hendak merapikan dagangan ketika terdengar langkah seseorang.Â
Lazuardi-kah itu?Â
Saya segera menajamkan pendengaran. Meski pada akhirnya saya merasa sangat kecewa karena seseorang yang datang itu ternyata bukan dia.