Lazuardi. Saya tidak akan pernah bisa melupakan nama itu. Saya akan selalu mengenangnya di dalam hati dan memori otak saya.
Baiklah. Biarkan saya memulai cerita dari sini. Dari sebuah halte di mana saya kerap mangkal menjajakan barang dagangan saya.
Suatu pagi di awal bulan Juni.
Seseorang mendekati saya. Langkahnya terdengar berat.Â
Orang itu kemudian berjongkok di dekat saya, menanyakan berapa harga tisu yang berada di atas pangkuan saya. Dari suaranya saya tahu ia adalah seorang laki-laki.Â
"Namaku Lazuardi. Aku mahasiswa tingkat akhir di sebuah Fakultas Kedokteran di kota ini." Ia berkata riang seraya membayar harga tisu yang saya ulurkan ke arahnya.
Jantung saya mendadak berdegup kencang ketika tanpa sengaja ujung jemari tangan lelaki itu bersentuhan dengan punggung tangan saya.
Saya memang tidak bisa melihat sosok Lazuardi yang tengah berada di hadapan saya. Tapi saya bisa merasakan, dan yakin, Lazuardi adalah lelaki tampan yang baik hati.
Sejak pertemuan itu saya jadi begitu mengagungkan Lazuardi. Saya berharap bisa sesering mungkin bertemu dengan dia. Menangkap setiap langkah beratnya dan mendengar suaranya yang serak-serak basah ketika berseru menyapa saya.
"Jika aku lulus kuliah nanti dan diterima bekerja di Rumah Sakit, pasien pertama yang ingin kusembuhkan adalah kamu," ujarnya, suatu hari. Tentu saja saya merasa sangat terharu dan senang mendengarnya. Kedua pupil mata saya sampai bergerak-gerak menahan buliran airmata yang berebut hendak jatuh.
"Apa benar mataku ini bisa disembuhkan?" saya meragukan perasaan saya sendiri.