Baginya, hujan semirip lemari tua. Yang memiliki banyak laci untuk menyimpan beragam buku cerita rahasia. Juga, tempat paling aman untuk menyembunyikan segala perasaan. Tentang cinta, rindu, serta perihal gugurnya harapan-harapan yang tak sempat tersampaikan.
Kadangkala. Ia melihat hujan sebagai teman seperjalanan paling bisa diandalkan. Yang tak segan membawakan berlembar-lembar helai sapu tangan. Untuk sekadar menyeka airmata. Dari sudut mata yang menua akibat terlalu sering disinggahi dan dipecundangi oleh luka.
Suatu ketika. Ia menyaksikan hujan bertiwikrama menjadi pelakon seni drama. Di atas punggung senja mereka mempersembahkan kisah paling absurd dan istimewa.Â
Diiringi orkestra sunyi, perempuan itu memutuskan untuk ikut menari. Lalu menenggelamkan diri dalam pusaran air. Hanyut sampai ke tepian waktu paling hilir.Â
Hingga langit lupa bahwa ia pernah ada. Hingga musim amnesia bahwa ia pernah terlahir prematur ke dunia.
***
Malang, 06 April 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H