Sudah kuputuskan. Kali ini aku memilih kabur dari rumah setelah pembicaraan dengan Ayah mengalami jalan buntu.
"Kau harus menikah dengan laki-laki pilihan Ayah, Nis!" Terngiang kembali ucapan itu.
"Tapi  Ayah..."
"Kenapa? Kau sudah punya pacar? Lupakan dia!"
Melupakan Irwan? Oh, tidak. Aku tidak akan sanggup melakukannya. Aku sangat mencintainya. Ayah tidak bisa berlaku semena-mena begitu terhadapku. Ayah tidak tahu betapa berartinya Irwan bagi hidupku.
Aku segera menghubungi Dinda, sahabatku semasa SMU. Aku katakan untuk sementara akan menginap di rumahnya sampai mendapatkan rumah kontrakan.
***
Nyaris semalaman aku tidak bisa tidur. Bermacam keruwetan memenuhi ruang kepalaku. Apalagi Irwan ternyata sama sekali tidak mendukung langkah yang kuambil. Ia bersikeras menjemputku dan akan membawaku pulang pagi ini juga.
Belum juga menghabiskan sarapan yang disuguhkan oleh Dinda, aku dikejutkan kemunculan Irwan dari kamar sebelah, diikuti seseorang yang amat kukenal. Irwan berpakaian sangat rapi. Mengenakan setelan jas berhias korsase tersembul dari balik sakunya.
"Buruan Nis. Berdandanlah! Aku tidak ingin petugas KUA menunggu kita terlalu lama."
"Ayah juga sudah siap menjadi wali pernikahan kalian."
"Maaf, Nis, Irwan ini adalah kakakku. Dialah calon suami yang akan dijodohkan denganmu itu," Dinda tersenyum manis ke arahku.
Kalau kalian menjadi aku, kalimat apa yang pantas diucapkan melihat persengkongkolan indah ini?
***
Malang, 14 Maret 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H