Aku akan tetap menuang secangkir kopi. Meski kamu tidak lagi duduk di kursi goyang kesayangan. Membiarkan jendela kamar terbuka lebar. Agar udara pagi leluasa mengecup lembut pipi dan keningku. Lalu aku akan memejamkan mata dan membayangkan, bahwa ia (udara) itu adalah kamu.
Selanjutnya aku akan menyalakan mesin cuci. Memasukkan baju-baju kotor dan celana yang pernah kamu pakai selepas pulang kerja. Lalu menjemurnya di halaman samping rumah. Sembari pura-pura mengomelimu. Sebab kamu tidak menghabiskan sarapan yang kusajikan di atas meja.
Siang sedikit aku akan menuju dapur. Menanak nasi, mengiris bawang. Ditemani seekor cicak yang merayap di dinding, yang diam-diam menertawaiku. Sebab mataku merah dan berair.
Aku tidak sedang menangis. Mata ini hanya menjadi tempat pelarian anak-anak gerimis. Sejak kamu memilih uuntuk pergi.
Sorenya, aku akan duduk di bangku taman. Merajut baju hangat yang tinggal satu lengan. Yang belum sempat kamu kenakan karena kamu terburu-buru pergi dan lupa tidak meninggalkan pesan apa pun, untukku.
Nanti, baju hangat ini akan kititipkan pada sekawanan burung merpati. Agar tersampaikan kepadamu. Agar terbayarkan pula rasa rinduku.
Tengah malam. Saat aku mendusin, aku akan menyalakan sebatang lilin. Di atas meja kamar. Agar bisa kutangkap sekelebat raut wajahmu. Meski samar-samar. Dan aku akan tersenyum manis. Seraya membisikkan kata-kata, dengan mata berkaca-kaca. Bahwa tanpamu, sungguh, aku merasa tidak baik-baik saja.
***
Malang, 03 Februari 2020
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H