Bag-16
Jejak yang Tertinggal
------
Setengah berlari Deborah menaiki anak tangga menuju kamar 206. Ia tidak bisa menggunakan lift. Entah sejak kapan pada pintu tangga otomatis itu tertera tulisan "Maaf, Lift Macet!".
Hhhh. Deborah berkali menarik napas panjang. Ia seharusnya tidak bertindak gegabah tadi, membiarkan Inta yang sedang sakit sendirian di dalam kamar.
Jemarinya memutar anak kunci dengan tergesa.
Dan saat pintu terbuka matanya sontak terbelalak. Isi kamar sudah kosong. Tempat tidur rapi dan bersih. Di atas meja tidak tertinggal satu barang pun.
Inta, kemana gadis yang sedang sakit itu? Apakah ia memutuskan pulang?
Deborah menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Sekali lagi ia menyesali keteledorannya. Setengah mengeluh ia meraih ponsel, menekan angka-angka mencoba menghubungi Inta.
Tidak tersambung.
Ia beralih menekan nomor lain. Kali ini ia menarik napas lega.
"Aku kehilangan jejak," itu kalimat pertama yang keluar dari bibirnya begitu telpon tersambung.
"Aku sudah memperkirakan begitu. Tidak apa-apa, tenanglah," terdengar sahutan dari seberang sana. Membuatnya merasa sedikit terhibur.
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" Deborah bicara lagi.
"Kau tetaplah berada di tempatmu."
"Kupikir tidak ada lagi yang menarik di sekitar Wooden House ini, kecuali..."
"Kecuali apa? Katakan!"
"Kecuali gedung aneh yang tersembunyi di lereng lembah terjal itu."
"Yup! Itu berita bagus! Sekarang kau tunggulah di lobi. Atau---carilah tempat romantis agar kita bisa bicara dengan nyaman."
Deborah mengangguk. Mematikan ponselnya dan bergegas turun.
***
Lampu remang-remang membuat keduanya rileks berbincang-bincang. Deborah sesekali memajukan wajahnya yang manis ketika membicarakan hal-hal yang dirasanya penting.
"Jadi kau juga mencurigainya?" Deborah bertanya pelan. Pria gagah di hadapannya itu mengangguk.
"Tapi kita tidak boleh terburu mengambil kesimpulan. Semua butuh bukti otentik. Oh, ya. Apa yang kau temukan di sekitar gedung tua di lereng lembah itu?"
Deborah beringsut. Membetulkan letak duduknya.
"Aku tidak berani melanjutkan rasa penasaranku. Ada lorong gelap yang membuat langkahku berbalik kembali ke penginapan."
"No problem. Anak buahku bisa melanjutkan penyelidikan."
"Sepertinya bangunan tua itu sudah tidak terpakai. Dan dimanfaatkan untuk gudang."
"Bisa jadi begitu," pria itu melirik arloji sekilas. "Kukira kita harus segera menyudahi pertemuan ini. Kembalilah ke kamar gadis itu. Kau berani bukan?"
Deborah mengangguk.
Keduanya sama-sama berdiri. Pria kekar di hadapannya itu meraih tangan Deborah. Meremasnya sebentar, lalu berkata, "Jangan matikan ponselmu. Karena sewaktu-waktu aku akan menghubungimu."
Sekali lagi Deborah mengangguk. Â Â
***
Kembali kaki Deborah menapaki anak tangga menuju lantai atas. Kali ini ia berjalan santai, tidak terburu-buru seperti tadi.
Lima menit kemudian langkahnya sampai di tikungan menuju kamar 206. Mendadak ia menghentikan langkah. Matanya menangkap dua sosok yang baru saja keluar dari lift. Seketika ia mendengus.
Bukankah tadi tertera pemberitahuan bahwa lift sedang macet? Atau barangkali petugas hotel telah berhasil memperbaikinya?
Deborah menepis pikiran-pikiran negatif yang bersliweran di dalam otaknya.
Dan untuk sesaat lift yang macet tidak lagi menarik perhatiannya. Ia lebih tertarik pada dua sosok yang berjalan beriringan---yang baru saja keluar dari dalam lift itu.
Inta dan Martin.
"Thanks, Martin. Malam ini aku sudah merepotkanmu," suara Inta tertangkap oleh telinga Deborah. Martin tidak menyahut. Hanya mengangguk kecil.
Deborah melihat Martin membuka pintu kamar 206. Menggunakan kunci cadangan. Lalu dengan sopan pemuda itu mempersilakan Inta masuk. Ia sendiri kemudian pamit pergi.
Saat berbalik itulah ia berpapasan dengan Deborah.
"Nona Deborah?"
"Yup, Martin. Bisa kau jelaskan padaku, kemana kalian pergi?" Deborah mencegat langkah Martin seraya memasang mimik serius.
"Maafkan saya." Martin membetulkan posisi berdirinya. "Nona di kamar 206 itu meminta saya untuk mengantarkannya ke suatu tempat."
"Tempat apa?"
"Nona itu bilang kendak membeli keperluan pribadi. Ia meminta saya mengantarkannya ke mini market terdekat."
"Kau tahu Nona itu sedang sakit, bukan?"
"Saya tahu. Tapi saat menghubungi saya, ia kelihatan bugar. Saya pikir ia sudah minum obat dari dokter itu dan..."
"Dengar Martin. Kau tahu mengapa aku pergi keluar penginapan? Aku mencari apotek terdekat untuk menebus obat Nona itu." Inta sengaja menekankan kata-katanya.
"Oh, benarkah begitu? Maafkan saya. Saya benar-benar tidak tahu."
"Baiklah. Mungkin aku harus bicara sendiri dengan Inta."
Deborah melanjutkan langkah. membiarkan Martin berdiri membisu.
***
Begitu masuk ke dalam kamar 206, Deborah disambut oleh ucapan sesal Inta.
"Kau pasti sudah memarahi Martin. Aku mendengar kalian bicara. Aku yang salah, Deb. Tidak memberi tahu padamu terlebih dulu kemana aku pergi."
"Kau bahkan tidak mengangkat telponku." Deborah menyandarkan punggung pada daun pintu.
"Sinyal di sini sangat buruk, Deb. Itu membuatku malas menyalakan ponsel."
"Kenapa kau tidak menungguku? Aku bisa mengantarmu, bukan?"
"Emergency, Deb. Aku datang bulan. Pembalutku habis."
Deborah tidak bisa lagi menyanggah.
Tapi kemudian ia teringat sesuatu. Barang-barang Inta.
"Aku heran saat melihat kamar ini dalam keadaan bersih."
"Oh, itu---aku menyingkirkan barang-barangku di kamar mandi, Deb. Kau belum masuk ke sana, bukan? Sedianya aku akan mengeluarkan baju-baju kotor untuk kutitipkan pada petugas loundry hotel. Tapi Martin keburu datang."
Deborah terdiam.
Untuk sesaat Inta telah berhasil meyakinkan dirinya. Bahwa apa yang dikatakan semua benar.
Tapi kemudian Deborah berdehem. Ia tahu Inta dan Martin berbohong. Mereka tidak pergi ke mini market. Melainkan pergi ke suatu tempat.
Dan tempat itu---dipenuhi oleh rerimbunan rumput!
Â
Bersambung...
***
Malang, 27 Desember 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Kiah sebelumnya: Novel 15
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H