Bag-13
Pertemuan Tak Terduga
-----------
Inta spontan meletakkan topeng di tangannya begitu melihat kedatangan Deborah. Ia tersenyum, menawarkan sepiring sandwich dan segelas susu panas.
"Aku sudah mengisi perutku tadi, Inta. Di pondok singgah," Deborah berkata seraya menghempaskan diri di atas sofa.
"Pondok singgah? Tempat apa itu?" Inta mengernyit alis.
"Oh, ya, kupikir kau harus melihatnya. Tempat itu sangat bagus, dikelilingi panorama lembah yang indah."
"Aku pasti ke sana, Deb. Nanti setelah sakit kepalaku ini hilang."
"Kau jangan terlalu sering mengonsumsi obat sakit kepala sembarangan, Inta. Kau tahu efeknya tidak bagus untuk kesehatan ginjalmu." Deborah menatap setumpuk obat yang tergeletak di atas meja.
"Ginjalku sudah bermasalah sejak lama, Deb. Itu sebabnya aku mudah lelah."
Pembicaraan mereka terputus. Terdengar suara ketukan.
"Biar aku saja. Kau rehatlah," Deborah bangkit dari duduknya. Menyeret langkah menuju pintu.
Seorang pemuda berseragam kurir tersenyum ke arahnya.
"Maaf, bisa mengambil kembali paket yang tadi saya antar ke kamar ini? Saya salah kirim."
Deborah menoleh ke arah Inta. Inta mengangguk. Ia meraih topeng yang tergeletak di atas meja.
"Bukan salahku jika aku terpaksa membukanya," Inta menyerahkan benda itu ke arah Deborah yang berjalan menghampirinya.
"Tidak apa-apa, Nona. Toh isinya tidak begitu berharga. Hanya sebuah topeng," pemuda berseragam itu menimpali kata-kata Inta.
"Jadi aku tidak perlu membungkusnya kembali?" Inta menegaskan seraya melirik kertas pembungkus di atas meja yang sudah kusut.
"Tidak perlu, Nona. Saya yang akan membungkusnya lagi. Sekali lagi mohon maaf karena telah salah kirim," pemuda itu tersenyum seraya menerima topeng dari tangan Deborah.
Setelah mengucap terima kasih, pemuda itu berlalu pergi.
"Aku akan memberitahu petugas penginapan agar segera membetulkan letak nomor kamar yang salah," Deborah meraih telpon yang menghubungkannya ke bagian resepsionis hotel.
Lima menit berselang terlihat seorang petugas muncul.
"Ada yang bisa kami bantu?"
"Segera betulkan nomor kamar ini. Berapa banyak orang akan kesasar dengan nomor yang dibiarkan lepas dari pakunya?"
"Oh, baiklah. Maafkan kami. Akan segera kami bereskan."
Petugas penginapan itu pun terburu pergi.
Deborah menarik napas panjang.
"Kadang pihak hotel tidak memperhatikan hal-hal kecil yang bisa merepotkan customernya." Ia bergumam seraya kembali ke tempat duduknya.
"Adakah perkembangan baru dari menghilangnya Laquita?" Inta mengalihkan pembicaraan.
"Seharian ini aku belum menerima kabar apa pun," Deborah menyahut pelan.
"Aku mengkhawatirkan kondisi adikku," Inta berkata serius.
"Kupikir...kita memang harus menghubungi polisi," Deborah berdiri.
"Tidak! Jangan!" Inta mengangkat kedua tangannya.
***
Langit senja di atas Wooden House tersapu mendung. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun. Udara dingin menyeruak diiringi kabut pekat yang perlahan mulai membayang.
Inta sudah sejak tadi meringkuk di balik selimutnya yang tebal. Sementara Deborah diam-diam meninggalkan kamar berniat menuju lobi hotel. Ia mengunci pintu kamar dari luar. Lalu turun ke lantai bawah menggunakan anak tangga.
Ketika sampai di belokan anak tangga keenam, ponsel di dalam saku jaketnya bergetar. Ia menghentikan langkah. Meraih benda mungil yang tidak pernah terpisah dari dirinya itu dan mulai membaca pesan yang baru diterimanya.
Dari Harry, tunangannya.
Ia baru berniat membalas pesan pendek itu ketika terdengar langkah terburu seseorang menaiki anak tangga. Orang itu nyaris menabraknya.
"Ups! Maaf..." orang itu berhenti dan menoleh ke arah Deborah sembari menangkupkan kedua tangannya.
Deborah seketika memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku demi melihat siapa pria yang nyaris menabraknya itu.
"Ron?"
"Deb! i-ya, aku."
"Kok kamu di sini?"
"A-nu, aku mengantar temanku yang datang dari luar kota untuk mencari penginapan."
"Tidak, Ron. Kamu berbohong. Kamu menguntitku, ya?" Deborah memasang wajah sangar. Ron berdiri dengan kikuk.
"Dengar Ron. Aku tidak suka dikuntit. Oleh siapa pun! Sekarang jelaskan apa tujuanmu mengikutiku?" Deborah menaikkan alisnya hingga menungging tegas.
"Oke, Deb. Aku mengaku salah. Bisakah kita bicara di suatu tempat yang nyaman? Di lobi hotel atau..."
"Kita ke lobi hotel!"
***
Meski kesal Deborah akhirnya memaklumi juga alasan mengapa Ron mengikutinya. Ron sama khawatirnya dengan dirinya.
Ini menyangkut keselamatan Laquita.
"Usai melihat foto yang kau tunjukkan kemarin, aku tidak bisa tenang, Deb. Aku was-was telah terjadi sesuatu terhadap Laquita."
"Untuk sementara aku memaafkanmu. Tapi lain kali kuperingatkan. Aku tidak suka dikuntit!"
"Oke, Deb. Sekali lagi aku minta maaf. Oh, ya, bagaimana keadaan Laquita?"
"Tidak ada kabar darinya."
"Kukira kita bisa melacak lokasi orang yang mengaku bernama Jeremy itu, Deb. Melalui ponsel dia."
"Aku sudah mengambil keputusan."
"Maksudmu?"
"Aku harus segera meminta bantuan."
"Pada polisi?"
"Mungkin."
"Kau serius, Deb?"
"Aku serius."
Ron terdiam.
"Maaf, Ron. Aku harus kembali ke kamar. Ada sesuatu yang tertinggal, yang mesti aku ambil."
Deborah memutar badan. Ron tidak menyahut. Pemuda itu hanya mengangguk kecil.
***
Kali ini Deborah memilih menggunakan lift untuk membawanya ke lantai 2. Hanya sekejap pintu otomatis itu terbuka. Ia keluar dengan langkah terburu dan nyaris bertabrakan dengan seseorang.
"Kau!" Deborah menahan pekik. Sesorang menghadangnya. Lalu meletakkan telunjuk jarinya pada bibir gadis itu. Meminta agar Deborah tenang.
Orang itu menyentuh lengan Deborah, menekan angka 3 pada dinding lift dan membimbingnya masuk lagi.
"Anak buahku sudah mulai menemukan titik terang. Kau temani saja kakak sahabatmu itu sampai semua beres." Orang itu bicara setengah berbisik di telinga Deborah. Deborah mengangguk.
"Laquita selamat, bukan?" Deborah menatap sosok yang berdiri gagah di hadapannya---dengan pandang penuh harap.
"Yakinlah ia selamat dan segera ditemukan. Sekarang kembali ke kamar gadis itu. Aku akan membutuhkan lebih banyak informasi darimu," sosok itu menyentuh ujung dagu Deborah. Lembut.
Lift kembali meluncur ke bawah. Berhenti di angka 2. Begitu pintu terkuak, Deborah bergegas keluar setelah terlebih dulu mengangguk ke arah sosok yang masih berdiri di dalam lift.
Deborah berjalan melenggang menuju kamar Inta. Ia tersenyum. Kiranya petugas penginapan sudah membetulkan letak angka 9 kembali ke angka sebenarnya, 6.
Diraihnya kunci dari dalam saku jaket. Kemudian membuka pintu kamar perlahan. Dilihatnya Inta masih terlelap. Suara dengkurnya terdengar halus.
Deborah menghempaskan diri di atas sofa sembari memeriksa lagi pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselnya yang belum sempat terbaca. Sejenak matanya terpicing. Ada pesan masuk dari orang yang mengaku bernama Jeremy itu.
Tidak ada pertemuan tanpa akhir....
Hati Deborah seketika berdegup. Agak emosi ia mengirim pesan balasan.
Tidak ada penjahat yang tidak tertangkap. Jadi bersiap-siaplah!
Hening.
Deborah menunggu.Â
Tapi hingga matanya mengantuk tidak ada pesan lagi yang diterimanya.
Bersambung....
                Â
***
Malang, 25 Desember 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Kisah sebelumnya:Â Novel 12
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H