Di sebuah pelataran, hujan masih hidmat menggelar perhelatan. Memainkan peran beragam dengan sepenuh hati dan perasaan.
Hari ini ia ingin menarasikan dramaturgi. Tentang seorang perempuan yang masih enggan beranjak dari sunyi. Yang pada lehernya tersemat kalung suci. Terbuat dari kepak sayap burung kenari.
Ini memasuki lustrum kesekian. Aku masih saja duduk sendirian. Di sini. Menunggumu. Hingga waktu berbaik hati menjemputku.
Di padang savana nun jauh di sana, hujan tak mampu menggelar sajian melodrama. Ada genang air yang berusaha dicegah. Dari pelupuk mata seorang pria. Yang pada pinggangnya terlilit sabuk pending. Terbuat dari sayatan kulit Lambskin.
Ini memasuki dasawarsa kesekian. Kita tak jua dipertemukan. Jika waktu lebih dulu menjemputku, kuharap kau tidak meratap menangisiku.
Hujan di pelataran baru saja menutup tirai. Hujan di padang savana memutuskan untuk berlalu pergi. Langit biru pun membuka lanskapnya kembali.Â
Sementara ditemani oleh sunyi yang getir, dua hati sibuk menjalani prosesi takdir. Yang entah sampai kapan akan berakhir.
***
Malang, 14 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H