"Kau selalu beranggapan aku akan membunuhmu, Lik. Kenapa? Apakah wajahku menggambarkan seorang bajingan?" kau menarik sebuah bantal. Lalu menyandarkan punggung. Aku tidak menyahut. Hanya bergumam dalam hati.Â
Asal kau tahu saja, Syahrul. Kau itu rajanya bajingan!Â
Mataku tertawa. Menertawakan kebodohanmu. Sebutan apa yang paling pantas untuk seorang laki-laki yang tega meninggalkan istrinya di rumah dalam keadaan hamil tua demi perempuan sepertiku, kalau bukan laki-laki bajingan?
"Jadi ternyata aku belum mati," gemetar tanganku meraih botol air mineral yang tergeletak di atas meja. Sementara kau memejam mata dengan dada kembang kempis.
"Kita akan melakukannya lagi, Lik?" mendadak matamu terbuka. Menatapku nakal.Â
Dan aku gegas merebah kembali seraya melempar senyum. Senyum paling jahanam yang pernah kutunjukkan kepada seorang laki-laki.
***
Dua orang polisi menginterogasiku di ruang tertutup. Satu di antara mereka sesekali menyentuh daguku dan menariknya ke atas, memaksa agar aku mendongakkan wajah.
"Jadi kau belum juga mau mengakui dengan cara apa kau membunuh laki-laki bernama Syahrul itu?" polisi berwajah tirus---mengingatkanku pada wajah mendiang Ayahku, mengulangi pertanyaannya.
Mulutku masih terkunci.
"Kau mau minum? Atau mau makan?" entah siapa di antara kedua polisi itu yang menawariku.