Malang, Kota yang Mengirim Gigil pada Puisiku
Kurasa bukan hawa kotamu yang membuat puisiku beku, tapi tentang kabar yang tiba di beranda
Entah apa yang merasukimu. Jampi mantra apa pula yang dibaca oleh lelaki itu, hingga hatimu terpenggal, bersedia dibawa menyeberangi lautan, dan tinggal di kegelapan hutan
Tidak. Kau sudah berjanji untuk menungguku
Berbulan-bulan aku berlayar, menyiapkan taman-taman, peraduan, tempat kita nanti bergurau berkelakar
Tapi rindumu untuk orang lain
Â
----------
Semalam, pesan yang kaukirim jatuh di pelataran. Dihempas tarian hujan. Kupunguti satu-satu diksi-diksi yang berceceran. Kutemukan ada sekutu di situ, di antara rindu dan buncah cemburu. Â
Aku melihat kelam itu tersulam samar di sudut redup cahaya matamu. Kusangkal itu bukan cemburu, bukan! Itu hanya rasa takut akan kehilangan. Dan aku ingin memelukmu saat itu juga. Menjatuhkan anak-anak rambut pada dadamu yang lapang seluas samudera.
Tentang kota yang kau tuduh mengirimkan gigil di puisimu, izinkan aku menyalakan dian-dian. Dari sobekan sayap kunang-kunang yang luruh di atas daun-daun. Dan setelahnya, aku ingin kau memutarbalikkan laju perahumu. Pulanglah. Menujuku.Â