Laki-laki itu berjongkok tepat di hadapanku. Berusaha menghidupkan nyala api unggun yang sudah mati.
"Sebentar lagi salju akan turun. Berjatuhan di atas permukaan air danau. Indah sekali. Seperti butiran bintang yang mengambang. Kau belum pernah menyaksikannya, bukan?"
Ranu. Sampai di sini anak gadisku menghentikan sejenak ceritanya. Wajahnya yang coklat kemerahan beralih menatapku.
"Mama tidak ingin mengatakan sesuatu?" ia menggigit bibirnya yang kering. Aku menggeleng.
"Baiklah, aku lanjutkan," ia memejamkan matanya.
Api unggun kembali berkobar. Laki-laki gondrong itu kemudian berdiri. Merogoh sesuatu dari saku jaketnya yang kumal. Mendadak rasa dingin yang membekukan seluruh tubuhku sirna.
"Bunga ini untukmu," laki-laki itu mengulurkan setangkai bunga mawar seraya tersenyum hangat. Sehangat sinar rembulan yang sesekali menyentuh permukaan air danau.
"Kau menerimanya?" aku menyela cerita anak gadisku dengan suara bergetar. Ia menggeleng.
"Tidak, Ma. Belum sempat aku mengulurkan tangan, serombongan relawan datang. Mereka segera membawaku pergi. Dan---laki-laki berwajah coklat kemerahan itu, raib!"
***
Ranu. Ini hari ketiga sejak kepulangan anak gadisku dari pendakian. Ia tidak bercerita apa-apa lagi. Sepertinya ia sudah mulai melupakan kejadian yang dialaminya. Dan tentu saja hal itu membuatku merasa lebih tenang.