"Tidak akan! Edelweis yang tumbuh di sekitar pegunungan tidak boleh dipetik sembarangan. Biarkan ia hidup dan mati di atas tanah yang ia cintai." Tanganmu semakin erat menggenggam jemariku.
"Kau tidak saja romantic, tapi juga humanis," aku memujimu. Wajahmu yang coklat kemerahan tersipu. Seperti wajah mentari yang diam-diam sudah menyelinap di balik punggung lembah.
Ranu. Kembali ke anak gadisku. Ia sudah selesai mengikat tali sepatunya. Sebuah kendaraan besar sudah siap pula menjemputnya. Iapun bergegas mencium tanganku dan berseru lantang, "Ma, Rere berangkat!"
***
Ranu. Langit senja baru saja memuntahkan hujan ketika anak gadisku pulang dari pendakian. Aku sudah menyiapkannya air hangat untuk mandi. Juga semangkuk bubur ayam panas kesukaannya.
Usai mandi ia belum sudi bercerita apa-apa. Tidak pula menyentuh bubur ayam yang sejak tadi tersaji di atas meja.
Tidak biasanya ia berperilaku demikian.
"Apakah kau baik-baik saja?" aku menyentuh pundaknya yang ringkih.
"Mama pasti tidak akan percaya jika kukatakan ini," ia mulai membuka suara.
"Apakah aku pernah melakukan---maksudku, apakah selama ini aku pernah tidak mempercayaimu?" aku bertanya hati-hati. Ia menggeleng.
"Jadi mengapa mesti meragukanku? Berceritalah," aku menggeser dudukku.