"Sebaliknya, aku ingin mengajakmu tinggal di sini. Di tepi danau ini," kau menatap ujung sepatuku yang berdebu.
"Di sini udara terlalu dingin untukku," aku menggigil dengan bibir membiru.
"Aku bisa menghangatimu," ujarmu bersungguh-sungguh. "Oh, iya. Salju akan turun pada tengah malam di atas permukaan air danau. Indah sekali. Seperti butiran bintang yang mengambang. Kau belum pernah menyaksikannya, bukan?"
***
Ranu. Kuberi tahu. Anak gadisku kini sudah tumbuh remaja. Pagi ini ia bangun lebih awal dari biasanya. Ia sedang berdiri di depan cermin menguncir rambut panjangnya dengan cekatan. Kemudian menutup kepalanya dengan kerpus rajut yang tebal. Wajahnya yang merah kecoklatan---mengingatkanku pada wajahmu, hanya dipupuri dengan bedak sedikit.
Sejak semalam ia sudah sibuk mempersiapkan semuanya. Sebuah ransel gunung berukuran besar (entah berisi apa aku kurang paham), siap membebani pundaknya yang menurutku terlalu ringkih bagi seseorang yang disebut pendaki.
Ranu. Kau pasti tersenyum jika kukatakan ini. Ia gadis yang pemberani sekaligus keras kepala. Tidak sepertiku.
Regulo. Aku memberi nama unik itu untuknya.
Regulo adalah sebutan lain untuk bunga mawar. Mawar yang pernah kau genggamkan pada jemari tanganku yang membeku, kala itu, sebelum aku pamit pulang.
"Ini regulo yang kutanam di sekitaran danau ini," ujarmu seraya melepas senyum paling hangat.
"Kenapa kau tidak memberiku bunga Edelweis saja?" aku memprotes pelan.