Semalam, kita berselisih paham begitu hebat. Tentang musabab hujan yang turun sedemikian lebat. Kau bilang hujan datang karena sengaja diundang oleh para perempuan. Yang lemah hati. Yang hanya bisa menghimpun airmata beramai-ramai.Â
Bukan begitu. Kau salah! Hujan turun karena para dewa di kahyangan merasa iba. Terhadap para perempuan yang diperlakukan semena-mena. Oleh pria-pria yang terkutuklah hati mereka.
Kau marah?
Aku jauh lebih marah!
Lalu kita berdua berlarian di tengah derasnya hujan. Untuk mencari pembenaran dari masing-masing pernyataan.
Hujan semakin membadai. Tempiasnya mengamuk bak sabetan pedang samurai. Kita berdua jatuh terkulai. Di antara reruntuhan dingin dan tajamnya jarum-jarum angin.
Dan, ketika kilatan cahaya berkekuatan mega itu menyambar tepat di kepalamu, aku diam terpaku.
Kekasihku, maafkan aku.
Lalu hujan dan airmataku pun bersekutu.
Pagi ini. Di atas meja kamarku hanya ada secangkir kopi dan remahan kenangan. Sisa-sisa pecahan kepalamu. Aku rindu!
***