Ketika baru lahir, tidak seperti bayi-bayi pada umumnya, Ia sama sekali tidak menangis. Meski bidan yang membantu menangani proses kelahiran sudah mengguncang-guncangkan tubuh mungilnya dengan keras.
"Mungkin harus digebrak," bidan itu bergumam.Â
Karena khawatir dengan kondisi bayiku yang masih diam tak bersuara, aku membiarkan bidan muda itu melakukan idenya dengan caranya sendiri.
"Hayoooo! Menangislah yang keras!" Teriakan itu diulang berkali-kali diselingi gebrakkan tangan di kedua sisi tubuh bayi mungilku.Â
Aku yang duduk bersandar pada tumpukan bantal njenggirat kaget saat ranjang bayi berguncang hebat.
Demikian juga dengan bayi merah itu. Ia pun akhirnya bergerak menunjukkan reaksi.
Tapi reaksi Happy---begitu aku menamainya, bukanlah lengkingan tangis. Melainkan tawa. Tawa nyaring aneh yang mendirikan bulu roma.
***
Kebiasaan Happy tak bisa menghentikan tawa berlanjut hingga ia beranjak remaja. Anakku itu masih belum bisa mengeluarkan airmata. Walau hanya setetes.
Keadaan semacam ini ternyata membawa dampak buruk bagi perkembangan psikologis Happy. Ia menjadi anak pendiam, pemurung dan lebih suka mengunci diri di dalam kamar.Â
Sementara orang-orang di luar sana mulai mencium gelagat aneh kehidupan kami. Mereka pun tak segan bergunjing. Bahkan tidak sedikit yang mulai terang-terangan mengatakan hal-hal buruk tentang kondisi kami.