Prahara itu telah menyebar ke mana-mana. Tak mampu ditutup-tutupi atau disembunyikan lagi. Kabar angin telah sampai pula ke telinga sang atasan di mana Abi bekerja. Dan laki-laki itu tidak bisa mangkir lagi ketika ia dipanggil dan harus menghadap ke ruangan pimpinannya.
Inilah untuk pertama kali Abi harus memutar otak, mencari alasan mengapa ia tidak tinggal seatap lagi dengan Fatimah. Â
Haruskah ia berterus terang tentang sisi pelik rumah tangga yang tengah dihadapinya? Siapkah ia dengan segala sanksi jika mengatakan semuanya dengan jujur?
Dalam kebimbangan yang nyata, Abi memutuskan untuk berkilah. Ia tidak ingin mempertaruhkan karier yang telah dibina selama bertahun-tahun. Ia belum siap untuk hancur.
"Semua berita yang tersebar tidak benar. Kami---saya dan Fatimah baik-baik saja," tutur Abi dengan suara bergetar.
"Benar begitu?" sang pimpinan menatap tajam ke arahnya. Mendadak Abi menjadi gugup. Tatapan mata sang pimpinan seolah menerkam dan menelanjanginya.
"Lalu bagaimana dengan surat yang sampai di meja kerjaku pagi ini?" tanya laki-laki yang menjadi bos-nya itu seraya menunjuk sebuah amplop berwarna putih yang tergeletak di hadapannya.Â
Wajah Abi menegang. Tangannya gemetar meraih amplop itu. Dan mulutnya nyaris terpekik ketika mengetahui isi amplop yang berada di dalam genggamannya.Â
Sebuah kopi surat seperti yang pernah ia berikan kepada Fatimah.Â
Apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sudah kepalang tanggung. Ia tak mungkin bisa mangkir lagi. Meski akhirnya dengan amat terpaksa ia mengakui, bahwa rumah tangganya bersama Fatimah memang tengah dilanda masalah.