Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menjabat selama periode 2008-2013, tentu tidak mengejutkan jika Profesor Mahmud MD sudah bisa membaca langkah-langkah apa yang bakal dan telah diambil oleh tim hakim Mahkamah Konstitusi dalam upaya menyelesaikan sengketa pilpres 2019 kali ini. Salah satunya adalah mengenai dimajukannya pengumuman hasil RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) sehari lebih awal dari jadwal sebelumnya.Â
"Biasanya nanti diumumkan mendekati hari yang sudah dijadwalkan jauh sebelumnya. Kalau maju begini, patut diduga, atau saya yakini, ini sudah selesai. Dalam artian, hakim tidak lagi memperdebatkan soal substansi pokok perkara ditolak atau diterima karena itu sudah disepakati, tetapi tinggal menyisir narasi putusan," jelas Mahfud MD saat dimintai pendapatnya oleh Kompas TV, Rabu, 26 Juni 2019.Â
Mahfud MD juga membeberkan prediksinya berkenaan dengan 3 poin putusan hasil sidang RPH yang rencananya akan digelar siang nanti.
"Sehingga menurut saya, besok putusan MK itu akan berbunyi begini, Memutuskan: satu, menerima permohonan para pemohon. Dua, menolak eksepsi termohon dan pihak terkait. Yang ketiga, mengabulkan atau menolak permohonan para pemohon,'" ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) ini dengan gamblang..
Mahfud MD menambahkan, bahwa gugatan yang diterima MK tidak selalu berarti dikabulkan. Menerima bukan berarti mengabulkan. Masih harus ditelaah secara lebih rinci dan teliti. Terutama diperlukan adanya bukti-bukti yang kuat untuk bisa memutuskan apakah suatu perkara itu layak dikabulkan atau tidak.
Tidak Sealot Sidang Sengketa Pilpres Tahun 2009
Dalam pernyataan selanjutnya, Mahmud MD menyatakan pendapatnya bahwa sidang sengketa pilpres kali ini lebih mudah diselesaikan ketimbang sidang sengketa pilpres tahun 2009 lalu, yang diwarnai adu bukti dan adu dokumen secara ketat. Hal ini berdasarkan pantauan beliau selama mengikuti jalannya persidangan.
"Yang sekarang ini kan nggak ada adu bukti, ya. Misalnya klaim bahwa paslon 01 mendapat 52 persen kemudian paslon 02 mendapat 48 persen. Klaim itu sama sekali tidak dibuktikan," katanya.
"Kan tidak ada kemarin, 52 persen ini terjadi di sini , 52 persen ini formulir nomor sekian nomor sekian, ini buktinya," sambung pria kelahiran Sampang, Madura- Jawa Timur itu menyampaikan keterangannya berdasarkan pengalaman sebagai hakim MK yang pernah mengalami kasus serupa.
Selain itu Mahfud MD juga menilai, secara kualitatif tidak ada bukti yang disajikan di persidangan MK kemarin.
Misalnya, soal DPT ganda dan KTP palsu, pihak pemohon tidak membuktikan secara langsung terhadap perolehan suara.