Entah sudah berapa kali setiap ada perhelatan pernikahan yang kami kunjungi, secara diam-diam Ibu selalu menyempatkan diri memetik satu kuncup kembang kantil yang berjuntai di antara rangkaian melati pada hiasan sanggul mempelai perempuan. Lalu tangan keriputnya sigap menyisipkan kuncup kembang kantil itu ke balik kutangku.
Pada awalnya aku merasa heran melihat apa yang dilakukan Ibu. Tapi kemudian berubah geli. Ya, geli karena alasan yang disampaikan Ibu sehubungan dengan upayanya mengambil kuncup kembang kantil secara diam-diam itu terdengar sangat tidak masuk akal.
"Kuncup kembang kantil ini akan menularimu agar segera mendapat jodoh, Sri."
Jodoh. Itulah sebab utamanya. Aku paham apa yang ada di dalam pikiran Ibu. Ibu mulai mengkhawatirkan status lajangku. Apalagi usiaku sudah memasuki kepala tiga. Usia yang sangat rentan menjadi bahan pembicaraan.
"Kapan menikah, Sri?"
"Masih betah sendiri, Sri?"
"Menunggu siapa lagi, sih, Sri?"
Beragam pertanyaan seperti itu sudah kebal di telingaku. Jujur, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Karena aku yakin jodoh merupakan salah satu wewenang Tuhan. Manusia tidak berhak ikut campur di dalamnya.
Tapi kembali lagi kepada Ibu. Perempuan tua itu semakin terlihat sedih manakala mengetahui satu persatu teman-teman sepantaranku sudah menemukan pendamping hidup mereka. Bahkan banyak pula yang sudah memiliki momongan.
Jika sudah seperti ini Ibu akan lebih sering diam dan menghindari bersitatap muka denganku. Kami jadi jarang berkomunikasi. Kecuali saat ada undangan perhelatan pernikahan baru Ibu antusias mengajakku bicara.
Seperti kemarin. Ibu tergopoh membangunkan tidur siangku. Mengingatkan bahwa hari itu kami harus segera menghadiri undangan pernikahan salah seorang sepupu yang tinggal di desa sebelah.