Bre, ini yang paling tidak aku suka dari persilangan waktu. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Mengapa harus begitu? Mengapa pertemuan tidak mengukuhkan diri sebagai sesuatu yang abadi?
Aku tergugu ketika siang itu kau mengecup keningku seraya berbisik, Neswari, jika pertemuan itu abadi, kita tidak akan pernah merasakan bagaimana indahnya sebuah perpisahan.
Indah? Di mana indahnya, Bre. Jika setelah kau pergi dadaku dipenuhsesaki oleh setumpuk rindu. Hingga aku tidak tahu mesti berbuat apa. Aku hanya duduk merenung menatap hadirnya pagi. Membiarkannya berubah menjadi siang. Lalu menjelma petang. Dan kemudian gulita itu datang, menyergapku.
Kau tahu, Bre? Di hadapan rindu aku merupa batu. Diam tak bergerak. Andai saja aku punya nyali untuk membunuh satu persatu anak-anak rindu ini. Tapi--ah, tentu saja tidak. Aku tidak mungkin berani melakukan hal sebodoh itu.
Saat ini, Bre. Aku hanya mampu terpaku mempertahankan rindu. Rindu yang tak pernah berhenti berfragmentasi. Membelah diri dengan durasi secepat lintas cahaya matahari menyentuh bumi.
Bre. Masihkan ada waktu untuk menitip anak-anak rindu yang berkembang biak ini di dadamu? Jika iya. Tolong secepatnya beri tahu aku.
***
Malang, 13 Juni 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H