Jika memang aku harus pergi, tak akan kupalingkan wajah lelah ini. Juga tak akan kuucap kata selamat tinggal. Karena aku tak ingin melepas cinta yang terlanjur kusematkan. Di dadamu. Duhai, lelaki perindu yang padamu mimpi-mimpi indah dan harapan pernah kutitipkan.Â
Kuterima berjuta amarah dan kekesalanmu. Kuakui segala khilaf dan salahku. Tapi kumohon, jangan engkau menderasi aku dengan kalimat kasar tak berjeda. Berhentilah sejenak menghakimiku. Tataplah kedalaman bola mataku. Adakah kautemukan setitik kesedihan berusaha kusembunyikan?
Jika aku pernah datang ke hadapanmu dengan segenggam senyum dan tawa riang. Membawa kabar bahagia di atas undangan bernoktah merah saga. Sesungguhnya itu hanya sekadar penghiburan. Atas hati yang ingin diyakini bahwa ia senantiasa dalam keadaan baik-baik saja.Â
Kalau saja engkau paham. Hatiku pun tertikam oleh sembilu tiada terperikan. Dan jiwaku terpenjara dalam pusaran ketidakberdayaan.Â
Sekiranya memang aku harus benar-benar pergi. Genggam erat jemari tangan ini, untuk terakhir kali. Jangan pernah kaulepaskan. Karena kupastikan aku akan jatuh dan tenggelam. Di pelukmu. Dan kedua mata tanpa cahaya ini, tak akan kuizinkan terbangun dan terbuka lagi.
***
Malang, 29 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H