Katamu, aku ini terlalu banyak bicara. Ketika kamu mengajakku bercinta, aku malah bercerita tentang anak burung Dara yang sayap kirinya terluka parah. Anak burung itu sebatang kara ditinggal mati ayah bundanya. Dan aku, ingin sekali menolongnya. Membawanya pulang ke rumah. Meletakkannya di sudut meja kamar kita. Agar saat ia sembuh nanti, bisa terbang kembali sembari mengucapkan terima kasih sebelum ia pergi.
Katamu, aku ini terlalu banyak bicara. Ketika kamu ingin mengajakku bercumbu, aku malah meraih sebuah buku. Aku bacakan untukmu, kisah nabi-nabi terdahulu. Kisah Nabi Khidir yang dipercaya bisa mengubah perjalanan takdir. Yang doa-doanya tak pernah disortir, langsung hadir di meja perjamuan sang pemilik kehidupan yang Maha Zahir.
Katamu, aku ini terlalu banyak bicara. Ketika kamu mengajakku berkelindan, aku malah sibuk mengatakan, bahwa senja sedang kesepian. Aku ingin sekali menemaninya sesaat. Membawakannya setangkai bunga beraroma coklat. Atau, membacakannya syair-syair cinta yang digubah oleh seorang pujangga yang tersesat.
Katamu, aku ini terlalu banyak bicara. Saat kamu tak lagi mengajakku melakukan apa-apa aku malah berceloteh manja. Tentang bagaimana sebaiknya seorang pria memperlakukan wanitanya. Tentang bagaimana Arjuna bercumbu rayu dengan Sembadra. Tentang--ah, kamu benar. Aku ini memang terlalu banyak bicara!
***
Malang, 15 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra
*Karya ke-1000
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H