Karena hujan itu perempuan, dan engkau adalah laki-laki normal, maka aku tidak keberatan ketika kaukatakan ingin berselingkuh dengannya. Di beranda. Mengulum bibir ranumnya yang selalu basah.
Tapi bolehkah aku mengingatkan? Bahwa hujan sebenarnya bukan type perempuan setia. Yang akan betah menemanimu di sepanjang pergantian musim dan cuaca. Sebab ia tercipta, bukan hanya untuk satu pria saja.
Kujamin pula, kau tidak akan bertahan lama dalam pelukannya. Kau bisa mati kedinginan. Lalu, ketika kau bersin-bersin dan tetiba penyakit encokmu kambuh, apa kaupikir hujan akan memedulikanmu? Tentu saja tidak! Hujan akan tetap berjalan, menari-nari, berlenggak-lenggok riang seraya memamerkan tubuhnya yang telanjang. Kemudian ia akan pergi meninggalkanmu. Sendirian. Dalam genang dan kubang-kubang berlubang yang dipenuhi kenangan.
Sekarang, kusarankan. Lebih baik mendekat saja kepadaku. Rasakan perbedaan signifikan antara hujan dan diriku. Dalam pelukku apakah kau masih merasa kedinginan? Atau, adakah kautemui keraguan. Bahwa hatiku tidak sedang tertuju kepadamu. Duhai, lelaki pengrawit rindu, pemuja kedasih dan penikmat putik bunga sepatu.
Ini janjiku. Kelak jika masa itu tiba. Kelak jika usiamu beranjak semakin tua. Akulah orang pertama yang selalu ada. Di sisimu. Sepenuh kasih menemanimu. Mengelus lembut punggung rentamu. Mengoles pinggangmu dengan minyak atsiri. Sembari tak henti melantunkan tembang macapat kinanthi.Â
Jadi. Sekali lagi kutanyakan. Masihkah engkau ingin berselingkuh dengan hujan?
***
Malang, 01 Mei 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H