Pernah suatu hari aku menulis berlarik puisi. Tentang diriku sendiri yang tersakiti oleh tajamnya belati sunyi.Â
Tapi sejenak luka itu tersembuhkan. Oleh hadirmu. Lelaki yang mengaku datang dari pusaran masa lalu.
Pernah suatu pagi aku menyamarkan bening airmata. Menjadikannya bulir-bulir embun yang membasah di pepucuk daun cemara. Tapi ternyata itu tiada mampu mengalihkan perhatianmu. Engkau tahu. Bahwa sesungguhnya luka belum sepenuhnya berlalu dari hati yang sibuk bersengkarut dengan waktu.
Semestinya aku paham dan mengerti. Bahwa aku tak mungkin lagi bisa bersembunyi. Darimu. Lelaki yang terlahir dari rahim mimpi-mimpi.
Sekarang. Ketika hati tak lagi dirundung bimbang. Ketika asa mulai terjaga dari lelap tidurnya yang panjang. Engkau mendadak menghilang. Pergi tanpa pesan. Yang tersisa hanya percik-percik kenangan. Tersimpan rapi dalam gelimang dan genangan airmata hujan.
Aku. Kembali pada takdirku. Memeluk erat anak-anak sunyi. Menunggu matahari beranjak menuliskan sebait puisi. Tentang; perempuan yang berasyik masyuk mengasah pisau belati. Untuk kemudian, berkali-kali. Dihujamkan pada ulu hatinya sendiri.
***
Malang, 26 April 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H