Empat puluh hari sudah Umi berpulang. Abah mulai meninggalkan masa berkabung. Seperti biasa Abah selalu bertandang ke rumahku yang berjarak hanya beberapa meter dari kediamannya.Â
Abah memang sudah menganggapku seperti anak sendiri. Meski Abah sebenarnya mempunyai beberapa anak kandung yang sudah mapan kehidupannya. Tapi entah mengapa, Abah lebih sering bersamaku daripada berkumpul dengan anak-anaknya itu.Â
Kami---aku dan Abah, biasanya duduk-duduk di beranda rumah sembari mengobrol santai. Mengobrol tentang apa saja. Tentang warisan Umi yang jumlahnya ratusan juta. Tentang rencana pemugaran masjid yang membutuhkan dana tidak sedikit. Bahkan yang lebih gres, tentang keinginan Abah untuk segera mencari pengganti Umi.
"Aku ingin menghabiskan sisa hidupku untuk ibadah, Pur. Aku ingin ada yang menggantikan posisi Umi-mu," begitu alasan Abah setiap kali menyampaikan keinginannya.
"Niat yang baik pasti diijabahi Allah, Abah. Tapi, apakah Abah sudah memiliki Capris?" aku bertanya serius sembari menyuguhkan secangkir kopi tanpa gula.
"Capris?" Abah mengernyitkan dahi.
"Calon pengganti istri," aku menegaskan.
"Oalah. Ya sudah toh, Pur. Bahkan sebelum Umi-mu meninggal. Eh, maksudku, setelahnya!" Abah meraih cangkir kopi dan menyeruput isinya sedikit.
"Saya ikut senang mendengarnya, Abah," aku mengulum senyum. Abah pun ikut tersenyum. Wajah tuanya tampak sumringah. Menggambarkan betapa suasana hatinya saat itu tengah bahagia.
Sementara aku, jujur merasa penasaran. Siapa sebenarnya calon pengganti Umi yang  diam-diam telah dibidik oleh Abah?
"Boleh tahu calon Abah orang mana?" tanyaku tak dapat menahan diri.