Aku melihatnya begitu bersahaja. Saat menimba tetes-tetes cahaya dari sendang cinta. Kala purnama baru saja purna melepas dahaga birahinya.
Dan aku menyebut ia; lelaki kultivator rindu.
Ia mendatangi tanah-tanah gersang tak bertuan. Menyiraminya dengan tirta amerta; air suci warisan Garudeya. Ia gemburkan lahan-lahan yang ditinggal pergi oleh penghuninya; dengan cara tak biasa. Prasawiya.
Mula-mula; ia kucurkan air suci dari bibir kendi-kendi. Lalu ia semai. Bibit-bibit rindu pilihan yang sekian lama ia bekukan.
Ia mulai berjalan mundur. Menandur.
Rindu-rindu tumbuh subur di setiap petak gulir waktu. Hingga matahari lancang bertanya. Berapa hektar tanah telah ia habiskan, hanya demi untuk menanam rindu yang tiada berkesudahan.
Dengan senyuman ia membuka gerai lahan di hatinya. Ia tunjukkan apa-apa yang ada di dalamnya.Â
Matahari pun terkesima.Â
Kiranya, rindu-rindu yang lelaki itu punya telah membentuk hutan belantara.
***
Malang, 24 Februari 2019