Di sini. Di bumi tempatku berdiri. Langit baru saja menggelar panggung akbar sedemikian megah. Menampilkan tarian liar hujan di pelataran tanpa henti tanpa jeda.
Ini pertanda apa? Apakah langit tengah bersuka ria? Atas pertemuannya dengan bumi yang sempat tertunda sebegitu lama. Ataukah, ia sedang mewakili perasaan seorang perempuan. Yang mengaku berkali dihujam dan ditikam oleh belati kerinduan.
Barikade hujan. Berdandan sejak senja baru saja mulai melukis rona ruam. Mengenakan seragam dari patahan-patahan jarum stalaktit awan. Menghunus pedang terbuat dari pekat halimun yang dimampatkan.
Perhelatan hujan. Tanpa jeda tanpa birama. Adalah karunia bagi belahan bumi yang suntuk dilanda dahaga. Namun bisa jadi petaka bagi tanah-tanah yang dikutuk merana. Oleh para tuan yang menghamba keserakahan.
***
Malang, 11 Februari 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H