Lelaki itu mengaku. Ia pemuja kopi sejak masih di rahim Ibu. Kopi buatan malaikat. Tentu saja rasa dan aromanya jauh lebih nikmat.
Perempuan itu mengaku. Ia pemuja senja sejak masih di kandungan Bunda. Tentu saja senja di alam sana. Panoramanya jauh berlipat lebih indah.
Lelaki kopi dan perempuan senja. Suatu ketika, bertemu di persimpangan waktu. Saling menghujam ragu.
Tidakkah kau ingin mencicipi rasa kopi ini? Kopi yang kutanam sendiri. Di lahan harapan bernama mimpi. Saat aku memanennya. Di antara butirannya, kulihat bayangan senja.
Senja itu milikku! Aku yang merawatnya. Menggembalanya di sepanjang putaran masa. Dan di setiap buraian rona jingganya, aku kerap mendapati. Siluet seorang laki-laki tengah khidmat menyeduh secangkir kopi.
Lalu, lelaki kopi dan perempuan senja saling bertukar cinderamata. Secangkir kopi pahit dan seiris senja legit.
***
Malang, 17 Januari 2019
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H