Hampir setiap malam ia berdiri di sana. Berlama-lama. Menatap pantulan rembulan di atas permukaan air sungai yang mengalir di bawah jembatan. Jika kebetulan beberapa orang lewat dan menanyakan apa yang tengah dilakukannya, perempuan itu akan menjawab dengan tegas,"Aku sedang menunggu rindu!"
Dan tentu saja orang -orang yang bertanya itu akan berkerut kening. Merasa heran. Lalu buru-buru hengkang meninggalkan jembatan.
Perempuan di atas jembatan itu tidak peduli. Ia akan tetap berdiri mematung sampai malam memaksanya pulang dengan mengirim berkarung-karung angin dan udara dingin.
Seperti malam itu, perempuan itu kembali berdiri di sana. Di atas jembatan yang sama. Menghadap ke arah yang sama pula. Dengan tatapan jauh menerawang menembus bayang rembulan yang sesekali bergoyang tertiup angin.Â
"Kau tidak bisa lagi mengusir diriku seenaknya. Lihatlah! Aku sudah mengenakan jaket tebal penahan dingin," perempuan itu bicara pada malam. Lalu tertawa. Tawa girang penuh kemenangan.Â
Sementara malam yang diajak bicara hanya terdiam. Membisu seperti batu.Â
"Berapa lama lagi kau akan berdiri di sini? Ingatlah, kayu penyanggaku mulai lapuk. Kau bisa terjatuh!" Itu suara jembatan. Mengingatkan. Tapi perempuan itu seolah tidak mendengar. Tetap bergeming di tempatnya semula.Â
Sampai beberapa saat kemudian ia dikejutkan oleh kehadiran seseorang.
"Kau?" perempuan itu mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Ya, aku," seseorang itu, yang ternyata adalah lelaki yang selama ini ditunggunya, perlahan berjalan mendekat.
"Berhenti!" perempuan itu memberi tanda dengan mengangkat kedua tangannya.