Pada umumnya sebisa mungkin orang menghindari masalah atau enggan menghadapi masalah. Tapi tidak demikian dengan para penulis fiksi. Mereka justru berharap akan selalu bertemu masalah. Atau kalau tidak mereka yang akan memburu masalah itu.
Apakah itu berarti penulis fiksi adalah orang-orang yang suka dirundung masalah?
Eits, tunggu dulu. Pernyataan ini tentu saja berkenaan dengan karya tulis. Bukan personility-nya.
Sebuah karya tulis, khususnya cerpen atau novel, tanpa menghadirkan sebuah masalah tentu membuat cerita yang disuguhkan terasa hambar. Kurang greget. Lempeng. Ibarat sayur kurang bumbu. Tidak sedap untuk dicicipi apalagi dinikmati.
Mari kita perhatikan contoh petikan cerpen berikut ini.
Sejak lahir Aisyah sudah hidup berkecukupan. Apa saja yang diinginkan bisa diwujudkan. Ketika dewasa Aisyah menikah dengan seorang pengusaha kaya raya dari Jakarta. Lengkaplah sudah kebahagiaan Aisyah.
Jika cerpen di atas stuck sampai di situ, hingga ending tidak mengetengahkan masalah sama sekali--hanya menceritakan kehidupan mapan dan aman Aisyah, tentu pembaca tidak bakal menemukan daya tarik atau magnet yang memesona. Bisa jadi pembaca akan sesegera mungkin meninggalkan cerpen tersebut. Malas meneruskan membaca hingga tuntas.
Harap diingat, daya tarik cerpen atau novel tidak terlepas dari penyajian masalah yang disuguhkan.Â
Selanjutnya kita menyebut masalah tersebut dengan istilah konflik.Â
Pengertian koflik sendiri menurut salah seorang pakar adalah:Â
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).