Ketika para penyair sibuk memilih diksi untuk mengungkapkan perasaan mereka. Aku malah sibuk memikirkan diriku sendiri.
Aku Aluna.
Sekarang aku sudah bermetamorfosis, menjelma menjadi kupu-kupu jalang yang indah. Warna sayapku keemasan bercampur jingga. Dan putik mataku bercahaya biru.
Lalu aku mencari tahu. Siapa kini yang peduli pada seekor kupu-kupu yang terbang berkeliaran di sudut kota? Setelah laki-laki 'milik Ibu' itu berhasil merenggut mahkotaku---secara paksa, seperti tangan Ibu saat menjambak rambutku. Di sore yang amat kubenci itu.
"Jangan menangis!" aku memarahi diriku sendiri. "Semua sudah terjadi. Airmata tak akan mampu menyelesaikan masalah."
Aku berdiri tegak. Mengangkat daguku sedikit. Angkuh.
Seorang perempuan bertubuh tambun memberi tanda dengan mengedikkan kepala tuanya sedikit ke arahku.
"Tamu pertamamu hari ini, Aluna," perempuan itu menatapku dengan tatap nyalang. Ada bayang-bayang lembar uang melintas di kornea matanya.
Aku berjalan anggun mendekati laki-laki pertama yang menginginkanku. Laki-laki setengah umur yang lebih pantas menjadi Ayahku. Yang dari mulutnya menguar aroma alkohol amat menyengat. Membuat perutku mual dan nyaris muntah.Â
"Sekarang?" aku menantang. Laki-laki itu mengangguk. Senang.
Kami tak banyak bicara. Berjalan beriringan memasuki sebuah kamar bernomor ganjil. 13. Nomor favoritku.