-------
Ketika anak-anak saya masih kecil, saya selalu menyempatkan menulis setelah mereka berangkat sekolah. Bisa dibilang saya bekerja sangat giat di masa tersebut. Suami saya dan saya memiliki sebuah toko buku, dan bahkan jika giliran saya tiba untuk jaga toko, saya takkan berangkat dari rumah sampai pukul dua belas siang. Seharusnya saya membereskan rumah, tapi saya justru banyak menghabiskan waktu menulis. Beberapa tahun kemudian, saat saya tidak lagi bekerja di toko buku, saya akan menulis sampai keluarga pulang untuk makan siang, dan disambung lagi saat mereka keluar rumah sehabis makan siang---sampai sekitar pukul 2.30 siang. Setelah itu saya akan minum secangkir kopi dan membereskan rumah sebelum anak-anak dan suami saya pulang.
Sekarang saya menulis setiap pagi, tujuh hari seminggu. Saya mulai menulis pukul 8 dan selesai pada pukul 11. Setelah itu saya akan melakukan hal lain selama seharian penuh. Kecuali saya sedang menyelesaikan draft terakhir sebuah cerita atau saya sangat terdorong untuk menulis sesuatu---pada saat itu saya akan bekerja seharian, dengan sedikit sekali waktu istirahat.
Pernyataan di atas adalah penggalan wawancara yang pernah dilakukan The Paris Review: The Art of Fiction #137 bersama Alice Munro seorang penulis cerita pendek terkenal asal Ontario-Kanada.(Dikutip dari Fiksi Lotus)Â
Lain cara Nyonya Alice Munro, lain pula style beberapa penulis hebat dunia di bawah ini.
Bagi banyak penulis, seperti Leo Tolstoy, Jane Austen, Ernest Hemingway dan Kurt Vonnegut, mereka memiliki rutinitas bangun pagi, atau menulis di waktu subuh, sebelum makan siang, menyunting naskah atau melakukan pekerjaan lain di sisa hari. Jack Kerouack memiliki kebiasaan bangun siang hari dan menulis dari malam hingga subuh. Franz Kafka dan Joseph Heller memiliki pekerjaan tetap dan memaksakan menulis di malam harinya.
 Bagi Steven King, rutinitasnya adalah menargetkan beberapa halaman setiap hari dan tidak melewatkannya apa pun yang terjadi. Selain itu, Haruki Murakami memiliki kebiasaan menulis lain. "Saya memiliki cara menulis novel, saya bangun pukul empat pagi dan bekerja dari lima hingga enam jam. Di siang hari, saya berlari sepanjang 10 km atau berenang sebanyak 500 meter, kemudian saya sedikit membaca atau mendengarkan musik. Saya tidur pukul 9 malam, saya menjaga rutinitasi ini tanpa variasi lain. Pengulangan itu menjadi hal yang penting, ini adalah bentuk mesmerisme (hipnotis). Saya memikat diri saya untuk mencapai keadaan pikiran yang lebih dalam," katanya.
Penulis novel Breakfast at Tiffany's dan In Cold Blood, Truman Capote terkenal memiliki kebiasaan menulis di kasur, dengan menyimpan mesin tik di pahanya. Sementara Ernest Hemingway selalu menulis sambil berdiri dan Roald Dahl menulis di kebunnya. (Dikutip dari REPUBLIKA.co.id)
Saya yakin, setiap penulis memiliki zona nyaman sendiri-sendiri. Kapan waktu paling tepat untuk mengekpresikan karya yang ingin mereka tuangkan. Bisa pagi hari ketika suasana masih hening, siang saat seluruh penghuni rumah sedang beraktifitas di luar, atau malam hari ketika seluruh penghuni dunia sudah terbuai mimpi.
Saya sendiri memilih jadwal menulis pada tengah malam di kisaran pukul 12 malam ke atas. Dan menyelesaikan tulisan saya jelang waktu subuh. Sebab bagaimanapun juga saya tidak ingin meninggalkan kodrat sebagai seorang Ibu yang harus tetap mengurusi rumah tangga dan anak-anak.
Jika saya memilih waktu yang menurut saya paling tepat untuk menulis, yakni pada dini hari, tentu saja saya memiliki alasan yang mendasar. Saya menyukai keheningan dan kesendirian.
Saya menyadari kelemahan saya, proses kreatif menulis saya tidak bisa saya terapkan di lingkungan yang gaduh, riuh atau di pusat-pusat keramaian. Meski barangkali ada penulis yang bisa melakukan hal tersebut. Menulis di tempat-tempat ramai, semisal--sembari menunggu jadwal keberangkatan kereta api di setasiun, atau bahkan saat duduk berhimpitan dengan penumpang lain di dalam bus.
Tapi khusus untuk diri saya, sungguh saya tidak bisa melakukannya.
Selain jadwal menulis, konsistensi merupakan hal yang amat penting bagi saya untuk memotivasi diri. Saya menanamkan sekaligus memberi tantangan pada diri saya sendiri, bahwa satu hari saya harus melahirkan satu karya. Apakah itu cerpen, puisi atau sekadar tulisan ringan.
Saya sangat meyakini pepatah lama: alah bisa karena biasa. Apabila suatu pekerjaan telah terbiasa dilakukan, maka tidak terasa lagi kesukarannya.
Banyak orang beranggapan keliru terhadap seorang penulis. Bahwa penulis itu bisa menuangkan ide-ide kreatifnya karena mereka memang sudah dikaruniai bakat sejak lahir. Sudah dari sononya.Â
Namun sejatinya tidak demikian. Bakat saja tidaklah cukup. Tidak memadai. Masih perlu diasah dan perlu dikembangkan. Adalah hal yang sia-sia, sekalipun diberi bakat menulis luar biasa sejak lahir, tetapi enggan (baca:malas) mengasah bakat yang sudah dimiliki tersebut, maka orang itu ibarat menggantang angin. Menyia-nyiakan anugerah yang telah dimiliki.
Sebaliknya. Seseorang awam, yang tidak memiliki bakat sedikitpun dalam dunia kepenulisan, jika ia mau belajar dan terus mengasah diri tanpa mengenal lelah, maka lambat laun akan terlihat hasilnya. Seperti tetes embun yang terus menerus berjatuhan hingga mampu melubangi kerasnya batu.
Kembali ke jadwal menulis kreatif. Sudahkah Anda memiliki jadwal menulis sesuai dengan keinginan Anda?
Jika belum, mulailah dari sekarang mengatur jadwal, yang tidak saja konsisten, namun bisa membawa perasaan Anda pada zona nyaman, bebas serta enjoy dalam menuangkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang tersimpan di dalam ruang benak Anda.
Selamat terus berkarya. Salam hangat. Keep writing!
***
Malang, 06 November 2018
Lilik Fatimah Azzahra
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H