Tapi tidak. Aku tidak ingin melakukannya. Jika benar ini Dandelion terakhir, tentu saja aku harus menjaganya baik-baik.Â
Senja bergulir sedemikian cepat. Warna jingga di pipi langit telah berubah menjadi gelap abu-abu.
"Kita pulang sekarang, Mayang?" Arya sudah berdiri di belakangku. Aku mengangguk. Tanganku masih menggenggam erat bunga Dandelion yang mulai merapuh.
"Kau ingin membawanya pulang?" Arya menatapku. Â Aku mengangguk lagi.
Sepertinya Arya tidak ingin bertanya apa-apa lagi. Ia hanya mengulurkan tangannya yang berotot. Merangkul pundakku, membawaku pergi meninggalkan padang ilalang yang rumputnya masih terus bergoyang, melambai-lambai meski tidak lagi tertiup angin.
***
Musim terus bergilir. Aku masih rajin datang berkunjung ke padang ilalang itu. Tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan.Â
Seperti senja ini. Aku berdiri menatap barisan Dandelion yang sedang mekar. Indah. Kelopaknya membentuk bulatan-bulatan putih seperti anak-anak rembulan yang bangun kesiangan. Pucat tetapi sangat menawan.
"Kau tidak ingin meniup bunga bola-bola itu, Mayang?"
Aku menggeleng. Lalu tersenyum manis ke arah pria gagah yang bicara padaku. Yang sejak tadi berdiri di sebelahku dengan sorot mata hangat.
"Ini untuk kesekian kalinya aku mengantarmu ke sini, Mayang. Tapi tak ada sesuatu pun yang kaukerjakan. Kecuali menatap berlama-lama pada bunga-bunga lembut yang rapuh itu," Dimas menyentuh punggung tanganku.